Melacak Jejak Islam di Bosnia: Mengenang 25 Tahun Genosida Srebrenica
Penduduk Bosnia adalah komposisi antara keturunan etnis Serbia, Kroasia, serta sebagian kecil sisa-sisa Khilafah Utsmani. Selama empat abad kepemimpinan Khilafah atas Bosnia, menyebabkan banyak warga yang secara sukarela menjadi mualaf, bahkan dari etnis Serbia sendiri. Hingga akhirnya, muslim menjadi mayoritas di sana.
Kondisi inilah yang kemudian menyulut kecemburuan sosial etnis Serbia yang berlatar belakang ortodoks. Di kemudian hari, kecemburuan ini semakin mengakar dengan diciptakannya identitas pembeda oleh mereka; etnis muslim, etnis serbia, dan etnis kroasia. Padahal, etnis muslim sendiri mayoritas adalah keturunan asli Bosnia.
Perebutan kekuasaan dan pengalaman konflik di wilayah ini memang sudah lama terjadi. Terlebih pasca meletusnya Perang Dunia I yang juga ditengarai berlatar konflik antar etnis.
Klimaksnya, terjadilah Perang Bosnia (lebih tepatnya disebut dengan pembantaian) pada kurun 1992 hingga 1995. Tentu tragedi ini menjadi pengalaman pahit lagi menyesakkan dada umat manusia, khususnya kaum Muslimin.
Kaum muslim menjadi korban utama peperangan, bahkan tercatat bahwa pembantaian tersebut merupakan salah satu bencana kemanusiaan terbesar yang pernah ada. Fernando Baez memperkirakan, Perang Bosnia ini menyebabkan 150.000 orang meninggal, 2 juta jiwa terusir dari rumahnya, serta hancurnya ratusan gedung dan juga masjid. Perang Bosnia jelas merupakan praktek nyata dari etnic cleansing, penghapusan etnis Muslim.
Mengutip Almansour, “Dimana manusia membakar buku, di situ pula pembantaian atas manusia terjadi”. Genosida dan pengancuran budaya masyarakat benar-benar dilakukan pada Perang Bosnia. Strategi ‘Damnatio memoriae’ atau penghapusan ingatan dilakukan dengan sangat keji. Pembakaran jutaan buku dan membunuh manusia adalah jalannya. Pasukan Serbia sengaja menjadikan perpustakaan dan universitas-universitas sebagai objek yang wajib dihancurkan.
Bahkan, seorang pustakawan bernama Vjeloslav menuturkan, “Tak ada yang tersisa disini”, “Saya melihat asap membumbung dan kertas-kertas berterbangan ke segala arah. Saya ingin menangis, dan ingin berteriak, tapi saya terdiam bersimpuh dengan tangan memegangi kepala. Selama sisa umur ini, saya harus menangung beban ingatan tentang bagaimana mereka membakar Perpustakaan Nasional Bosnia-Herzegovina di Sarajevo”.
Padahal Perpustakaan Nasional ini setidaknya menyimpan 1,5 juta buku, 155 ribu teks langka, 478 manuskrip, dan jutaan terbitan berkala dari seluruh dunia.
Adalah Jenderal Serbia, Ratko Mladic yang memerintahkan tentaranya agar bangunan Vijecnica (Balaikota Sarajevo – lokasi Perpustakaan Nasional berada) dibakar dengan 25 bom api, meski gedung tersebut telah ditandai dengan bendera biru – yang artinya pantang untuk dijadikan sasaran perang karena dianggap sebagai cagar budaya dunia.
Selain penghancuran Perpustakaan Nasional di Sarajevo, titik-titik kebudayaan dan pengetahuan lain juga menjadi sasaran amuk tentara Serbia. Tercatat Universitas Osijek, Museum dan Perpustakaan Umum Vukovar, Perpustakaan Sains di Zadar, termasuk Institut Kajian Timur di Sarajevo tak luput dari serangan.
“Kerugiannya tidak dapat diukur atau bahkan ditebus” tulis Kemal Baraksic, Kepala Perpustakaan Museum Nasional Bosnia.
Baraksic pun melanjutkan, “Dalam kurun dari dua jam, lima juta manuskrip dalam bahasa Turki, Persia, dan Arab, lebih dari seratus buku pemetaan wilayah dari zaman Ottoman (Khilafah Turki Utsmani), termasuk buku-buku yang menunjukan bahwa Bangsa Slavia yang beragama Islam sudah tinggal selama berabad-abad di Bosnia, serta catatan yang mencapai 200.000 halaman, 300 mikrofilm tulisan-tulisan Bosnia dari manuskrip-manuskrip di perpustakaan lain, 10.000 buku perpustakaan riset institut, dan 300 set terbitan berkala… Semuanya hangus terbakar”.
Bahkan menurut Andras Riedlmayer selaku Direktur Program Arsitektur Islam Aga Khan Universitas Harvard, “Institut Kajian Timur jelas dijadikan sasaran khusus. Dari beberapa saksi mata yang diwawancarai, gedung itu diberondong serangan bom api yang ditembakkan dari puncak-puncak bukit yang menghadap ke pusat kota”. Namun anehnya, menurut Andras Riedlmayer, “Tak ada gedung lain di wilayah yang padat itu ikut diserang”.
Tentara Serbia tidak hanya menyerang fasilitas perpustakaan publik, namun perpustakaan pribadi pun ikut dihancurkan – yang mayoritasnya adalah perpustakaan masjid. Salah satunya adalah perpustakaan Komunitas Muslim di Stolac, Perpustakaan Masjid Sultan Selim I (yang dibangun pada 1519 di masa kepemimpinan Khilafah Turki Utsmani), Perpustakaan Masjid Pogdradska, Perpustakaan keluarga Behmen, Mahmutcehajic, Mehmedbasic, dan Rizvanbegovic tak luput dari sasaran penghancuran.
Investigasi mendalam menunjukkan, bahwa selama kurun waktu 4 tahun berlangsungnya Perang Bosnia tercatat 188 perpustakaan terkena serangan, 43 diantaranya bahkan musnah, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan milik pribadi.
Dewan Eropa pun tak ketinggalan ikut memberikan pernyataan, bahwa peristiwa ini adalah “Bencana kebudayaan Eropa dalam kadar yang amat mengerikan”. Bahkan, Dewan Keamanan (DK) PBB juga mengeluarkan laporan, “Penghancuran secara sengaja atas benda-benda budaya yang tidak dapat dijustifikasi oleh kepentingan militer”.
Menurut Baez, “Nazi pun tidak se-efisien ini dalam memusnahkan buku”. Maka, dapatlah kita tarik benang merah yang begitu jelas, bahwa “penghancuran ingatan” dalam Perang Bosnia merupakan sebuah bencana yang disengaja, direncanakan secara terstruktur, sistematis, masif, dan bahkan ditargetkan.
Umat Islam tentu menanggung kerugian besar yang tak ternilai harganya. Bukan hanya karena genosida yang terjadi, namun juga atas bibliosida (pengancuran buku) itu sendiri. Bukan tanpa alasan, hal tersebut jelas dilakukan untuk menghilangkan jejak budaya umat Islam di sana.
Bogres mengungkapkan, “Dari berbagai instrumen manusia, tak syak lagi yang paling mencengangkan adalah buku. Yang lain adalah perpanjangan ragamu. Mikroskrop dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan; telepon adalah perpanjangan suara; lalu kita memiliki bajak dan pedang, perpanjangan lengan. Namun buku berbeda: buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi”.
Buku merupakan pelembagaan atas ingatan suatu umat. Di sanalah ingatan itu dirawat dan dilestarikan. Sejatinya, tidak untuk masa dimana buku itu ditulis, tapi lestarinya ingatan adalah untuk anak cucu dan generasi setelahnya.
Buku pun menjadi warisan budaya suatu masyarakat. Dalam buku, tertanam kemampuan untuk memberi sebuah rasa kepemilikan yang jua dimiliki oleh para generasi pendahulu. Sehingga tidaklah berlebihan, jika buku merupakan representasi atas identitas diri suatu masyarakat.
Karena sungguh, tak ada identitas tanpa ingatan. Maka, ketika umat Islam di Bosnia telah kehilangan ingatannya akibat pembantaian buku tersebut, maka mereka sejatinya telah kehilangan identitasnya.
Meski genosida berhasil menghilangkan jasad masyarakat pada zaman itu, namun bibliosida telah membunuh manusia dan generasi setelahnya, hingga suatu masyarakat tidak dikenal oleh siapapun bahkan dapat dianggap tidak pernah ada di dunia. Sungguh mengerikan! [].
Sumber:
Judul Buku: Penghancuran Buku: Dari Masa Ke Masa
Penulis: Fernando Baez
Penerbit: Marjin Kiri Publisher
Cetakan: 2013