Agenda Kapitalisme Di Balik Penderitaan Muslim Uighur
“Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing.” (Mao Zedong)
Leading di atas mengingatkan kita pada sosok Mao Zedong, Sang Pendiri Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Selama ia memimpin RRT, dunia telah mencatat sejarahnya. Pada tahun 1956 M, Mao memperkenalkan sebuah kebijakan politik baru. Kaum intelektual boleh mengeluarkan pendapat mereka sebagai kompromis terhadap partai yang menekannya karena ingin menghindari penindasan kejam. Tetapi ironisnya, kebijakan politik ini gagal. Sebaliknya, justru kaum intelektual merasa tidak puas dan banyak mengeluarkan kritik.
RRT mulai menatap masa depan. Pada tahun 1958, Mao meluncurkan apa yang ia sebut Lompatan Jauh ke Depan. Yaitu, kebijakan agar daerah pedesaan direorganisasi secara total. Di berbagai tempat didirikan perkumpulan-perkumpulan desa (komune). Namun, secara ekonomi, sistem ini gagal. Komune-komune ini menjadi satuan-satuan yang terlalu besar dan tak bisa terurusi.
Sebetulnya, saat itu Mao masih percaya akan sebuah revolusi yang kekal sifatnya. Ia juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan kaum kontra-revolusioner. Oleh karena itu secara teratur ia memberantas dan menangkapi apa yang ia anggap lawan-lawan politiknya dan para pengkhianat atau kaum kontra-revolusioner.
Peristiwa yang paling dramatis dan mengenaskan hati ialah peristiwa Revolusi Kebudayaan yang terjadi pada tahun 1966. Tahun 1960-an merupakan masa populernya gerakan pemberontakan mahasiswa di seluruh dunia terhadap apa yang mereka anggap The Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu pula di Tiongkok. Bedanya, di Tiongkok mereka didukung oleh para dosen-dosen mereka dan pembesar-pembesar Partai termasuk Mao sendiri. Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah Mao, mereka menyerang antek-antek kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta kaum kontra-revolusioner lainnya.
Keganasan Mao untuk meringkus para kontra-revolusioner berhenti. Kepemimpinan berpindah ke tangan Deng Xiaoping. Pemikiran ala Deng secara langsung membunuh semangat komunisme Tiongkok ketika itu. Restrukturisasi ekonomi membuat kebijakan-kebijakan Mao lenyap. Hasil yang didapatkan adalah keuntungan ekonomi yang lebih besar di zaman Deng. Produktivitas petani meningkat. Bahan pangan mudah didapat. Seperti daging angsa dan komoditas lainnya yang dianggap murah.
Dalam buku karya Ezra F. Vogel yang diterbitkan oleh The Belknap Press of Harvard University Press yang berjudul Deng Xiaoping and the Tranformation of China dijelaskan bahwa Deng mempelajari pemikiran-pemikiran luar negeri untuk membuat progress bagi China ke depannya. Dalam satu paragraf, penulis buku ini menceritakan bagaimana sepak terjang Deng untuk mendapatkan ideas supaya mampu menggerakkan ekonomi China.
In learning about foreign economic developments, Deng allowed Zhao to meet the economicst; he prefered to talk with scientist and successful business leaders like Y.K Pao, Matsuhisa Kenosuke, and David Rockefeller, to collect their ideas on how China progress. He also met foreigners involded in national economic planning, like Okita Saburo and Shimokobe Atsushi of Japan. (Vogel, 2011:390)
Keberadaan Deng di luar negeri dalam rangka mengambil “foreigns ideas” yang di satu sisi setidaknya telah melunturkan bahkan membunuh komunisme China yang selama ini diperjuangkan oleh Mao Zedong. Pertemuan dan pertemanan Deng dengan pebisnis-pebisnis sukses di dunia secara langsung maupun tidak langsung telah memasukkan kapitalisme di tanah rakyat China. Spirit of Capitalism kemudian lahir dan tumbuh cepat di China. Inilah sebab mengapa keganasan Mao lenyap dan berubah menjadi penyelewengan komunisme di bawah rezim Deng yang telah merestrukturisasi kebijakan ekonomi dalam dan luar negeri serta meningkatkan produktivitas untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Sejatinya, China’s Hope, Harapan China untuk memajukan kondisi ekonominya dan mendapatkan keuntungan luar biasa senantiasa tertanam kuat saat ini. Karena itu, Rezim Deng mengubah ulang struktur ekonomi terus menerus. Pada akhirnya, hasrat ekonomi yang ditanam oleh Rezim Deng mulai melebar hingga Wilayah Xinjiang. Wilayah ini memang dikenal dengan wilayah yang menguasai 20 persen cadangan potensial minyak Tiongkok. Cadangan minyak mencapai antara 20-40 miliar ton minyak mentah. Cadangan gas sedikitnya 12,4 triliun kaki kubik. China National Petroleum Corp, perusahaan minyak milik negara terbesar, memiliki hak monopoli pengelolaan dan eksplorasi migas di Xinjiang.
Hari ini, Rezim Tiongkok berusaha untuk mengurangi ketergantungan migas dari luar negeri. Menjadikan Xinjiang sebagai pusat penyimpanan dan cadangan nasional. Ekonomi Tiongkok sangat tergantung migas, dan negeri Tirai Bambu itu menjadi salah satu pemain utama global dalam perang energi dengan AS, Rusia, dan Uni Eropa. Maka, Wilayah Xinjiang menjadi seperti “gunung emas” yang musti dikuasai dan dimonopoli oleh Rezim Tiongkok.
Fakta inilah yang mendorong Rezim Tiongkok untuk menguasai Xinjiang. Spirit of Capitalism, Semangat Kapitalisme itulah yang membuat Rezim Cina menjadi “gila”. Mereka rela mengeluarkan berbagai taktik dan strategi untuk mendominasi Wilayah Xinjiang. Salah satunya adalah Clash of Etnic, benturan etnis yang mengarah kepada Etnic Cleansing. Siapa yang jadi korban ? Jelas, Muslim Uighur.
Sekali lagi, dampak dari pengambilalihan Wilayah Xinjiang adalah Etnic Cleansing. Karenanya, Rezim Tiongkok tidak segan-segan memasukkan Suku Han yang loyal terhadap rezim untuk “adu otot” dengan Muslim Uighur. Parahnya, Suku Han diberikan peralatan perang. Mereka diberikan tameng, helmet untuk melindungi diri. Mereka juga diberikan camp-camp dan logistik untuk hidup. Apa tujuannya ? Tidak lain memperbanyak populasi Suku Han agar menjadi mayoritas di Wilayah Xinjiang.
Maka, kita tidak heran dengan penderitaan luar biasa dari saudara-saudari kita Muslim Uighur. Mereka ditindas, dianiaya, diperkosa, dan dibunuh. Tidak ada kekuatan dan senjata untuk melawan. Negeri-negeri muslim juga diam seribu bahasa. Lalu, sampai kapan ke-jahiliyyah-an dan kemaksiatan ala Rezim Tiongkok ini kepada Muslim Uighur akan berakhir ?
“Adanya konflik di tengah tengah umat Islam, menunjukkan keberadaan musuh bersama yang membenci persatuan umat. Tentu, pandangan yang sempit dan pikiran yang dangkal tidak mampu menerkanya. Dibutuhkan adanya helicopter view, bahkan global view untuk membaca soal itu. Jelas, bahwa musuh membenci persatuan di atas kebenaran !”
Muhammad Alauddin Azzam
Sumber:
Vogel Ezra F. 2008. Deng Xiaoping and the Transformation of China. The Belknap Press of Harvard University Press: England.