Mengapa Penelitian Jejak Khilafah di Nusantara Sulit Dilakukan?
2.168 jenis cap. Itulah jumlah stempel surat-menyurat yang dikumpulkan oleh Annabel Teh Gallop, seorang pakar manuskrip keislaman di Asia Tenggara dan Samudra Hindia, yang disajikan dalam mahakaryanya yang berjudul, “Malay Seals” (Cap-Cap Melayu).
Cap khusus ini tentu tak hanya meliputi wilayah yang jamak kita ketahui kuat keislamannya, seperti Aceh, Minang, Yogya, maupun Surakarta. Namun wilayahminoritas seperti Bali, yang ternyata juga banyak dari raja-rajanya melakukan korespondensi serius dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Di masa Rasulullah, stempel ini sudah digunakan sebagai identitas khas dari sang pengirim surat. Hal ini terus digunakan oleh para penguasa muslim di masa-masa setelahnya.
Uniknya, ribuan “cop mohor” yang dikumpulkan oleh Gallop ini meliputi paruh kedua abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-20. Ternyata, berbagai stempel tersebut tidak hanya eksklusif digunakan oleh para penguasa, namun juga oleh para rakyat jelata. Dick van der Meij, pakar pernaskahan Nusantara asal Belanda, sama sekali tidak menyangka bahwa begitu banyak segel yang digunakan di daerah itu selama periode tersebut.
Lebih menariknya, “Malay Seals” tidak hanya menampilkan cap-cap asal wilayah yang hari ini kita kenal sebagai “Indonesia”, melainkan juga berbagai wilayah di Asia Tenggara; Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Kamboja, hingga Filipina. Uniknya, mayoritas dari cap-cap tersebut menggunakan bahasa Arab, yang sedikit-banyak kemudian dipengaruhi oleh budaya Melayu maupun Jawi. Kesemuanya, diukir dengan sangat indah dan menunjukkan betapa bangganya mereka dengan identitas keislamannya.
Keunikan dari cap mohor inilah yang menginspirasi cover terbaru dari buku “Dafatir Sulthaniyah”.
Ya, gambar cover itu bukanlah koin dinar atau dirham. Gambar itu adalah stempel. Sebab, kami ingin mematahkan stigma, bahwa hubungan Nusantara dengan Khilafah lebih didominasi oleh hubungan dagang.
Lebih dari itu, hubungan antara penguasa maupun rakyat di Nusantara adalah sebuah ketaatan penuh terhadap sang khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat Islam sedunia.
Dengan luasnya jangkauan yang meliputi wilayah Asia Tenggara, serta periode waktu yang mencakup paruh kedua abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-20, maka kita tentu tak mampu membayangkan berapa banyak waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk mengumpulkan ribuan cap yang tersebar di berbagai penjuru dunia itu. Maka tidak heran, jika buku hardcover full colour setebal 785 halaman ini pada akhirnya dibanderol harga yang cukup mahal, yakni hingga 2 juta rupiah.
Tak hanya Annabel Teh Gallop. Usaha keras untuk menghimpun dan meneliti hubungan antara Khilafah ‘Utsmaniyyah dengan Asia Tenggara juga dilakukan oleh Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock yang setidaknya membutuhkan waktu 11 tahun untuk melakukannya. Hasil penelitian tersebut kemudian diurai dalam 2 jilid buku “Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives”, yang jika dikonversi dalam rupiah (per postingan ini dibuat), keduanya bisa merogoh kocek hingga $321.06 atau sekitar 4,7 juta rupiah.
Mungkin, keterbatasan akses ini pula yang juga memengaruhi sedikitnya analisis mengenai kemesraan hubungan antara kaum muslimin di Asia Tenggara dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah. Buku-bukunya mahal, yang meski tak sedikit juga yang sudah disajikan dalam bahasa Inggris, namun arsip-arsip tersebut tetap saja membutuhkan pemahaman terhadap tata bahasa Arab yang baik.
Faktor lainnya? Tentu saja adalah narasi penulisan sejarah yang dikuasai oleh pihak pemenang, sehingga meski hasil penelitian mengenai kuatnya hubungan antara kaum muslimin di Nusantara dengan Khilafah sudah cukup banyak, namun penulisan sejarah di Indonesia tetap saja akan sangat jarang mengangkat peran Islam apalagi Khilafah di dalamnya.
Misalnya dalam buku “Sejarah Nasional Indonesia” (yang menjadi rujukan mata pelajaran sejarah dengan tebal sampai 6 jilid ini) menulis kontribusi ‘Utsmani hanya dalam beberapa paragraf saja. Tidak ada pembahasan jejak Khilafah di Nusantara kecuali penyebutan kisah pengiriman armada perang oleh Turki ‘Utsmani yang disertai tentara elit lengkap dengan para ahli pembuat senjata ke Aceh guna menghadang kekuatan Portugis di selat Malaka pada abad ke-16 (Masa kepemimpinan Sultan Salim II).
Penulisan itu pun bahkan sebenarnya tidak dijelaskan dalam perspektif yang tepat, bahwa Turki sejatinya adalah Khilafah yang membantu suatu kekuasaan di Timur yang pada saat itu telah menyatakan ketundukannya sebagai bagian dari Kekhilafahan. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila muncul anggapan bahwa memang ada upaya mengubur dan mengabur sejarah Khilafah di Nusantara.
Metode penulisan ini terus berlangsung turun temurun dalam pendidikan sejarah Indonesia. Di masa awal kemerdekaan, sejarah di Indonesia merujuk metode penulisan Belanda-sentris (Nerlandocentris), sehingga sistematika penulisan, tujuan, dan guna penulisan sejarah adalah untuk kepentingan Belanda. Saat ini, para sejarawan Indonesia menyusunnyamenjadi Indonesia-sentris, sehingga informasi sejarah yang disampaikan, diharapkan lebih memihak bangsa Indonesia. Penulisan sejarah yang tidak mengandung semangat ideologis dan dakwah itulah, yang menjadi salah satu faktor terbesar atas rendahnya minat masyarakat terhadap sejarah.
Maka, mohon dimaklumi. Jika bukan karena motivasi ideologis dan dakwah, tentu KLI tidak akan repot-repot menerjemahkan dan menyusun berbagai arsip langka tersebut ke dalam buku “Dafatir Sulthaniyah”.
SPOILER BUKU “DAFATIR SULTHANIYAH”
Dirancang mewah, namun tidak berat. Full color dengan kertas HVS 80 gr, lengkap dengan gambar-gambar pendukung, serta soft cover berisi 158 halaman yang bisa dihabiskan hanya dalam beberapa kali duduk.
Buku ini adalah buku arsip pilihan yang mampu membuat kita tercengang, mengernyitkan dahi, dan menarik napas panjang. Sebagaimana sub judulnya, ia menguak bukti loyalitas muslimin Jawi kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang mayoritasnya diungkapkan melalui surat – sebagai alat komunikasi utama kepada para penguasa saat itu.
Cakupan negeri Jawi dalam buku ini juga luas, melampaui garis teritorial ciptaan penjajah Eropa; sehingga loyalitas kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah bisa kita temui di wilayah yang hari ini dikenal sebagai Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand, hingga Filipina.
OPEN ORDER BUKU KE-2 KLI, AMBIL PROMONYA MELALUI LINK BERIKUT: