Memahami Strategi di Balik Politik Pencitraan
Sederhananya, citra adalah sesuatu yang mewakili realitas. Gambaran dari sosok politisi yang kita lihat sekarang ini, kebanyakan adalah citra. Bukan realitas.
Hal tersebut tak bisa dijauhkan dari sistem demokrasi itu sendiri, yang menuntut besarnya dukungan publik terhadap politisi tertentu. Tanpanya, para politisi tak bisa mendapat legitimasi untuk berkuasa.
Jadi, menghasilkan opini publik yang mendukung salah satu pihak, adalah hal yang sangat penting dalam demokrasi. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam cara. Termasuk pencitraan, yang pada 2014 lalu, semakin populer dan tingkat pencariannya di media meningkat pesat. Pencitraan, bahkan lebih banyak dikaitkan dengan konteks politik sejak saat itu.
Pencitraan dalam arti untuk mendapat legitimasi publik, sebenarnya sudah dilakukan dari dulu. Di masa Presiden Soekarno, beliau mencitrakan diri sebagai orator yang seolah-olah anti kepada asing. Ini adalah cara untuk mendapat pengaruh rakyat pada saat itu.
Pencitraan tersebut juga ditunjukkan dalam Proyek Mercusuar, yakni representasi dari proyek megah yang bertujuan membuat masyarakat bangga. Dengan bangganya masyarakat atas proyek itu, otomatis credit kesuksesan akan didapat oleh sang penguasa.
Proyek Mercusuar ini, dilakukan dalam rangka menyambut Asian Games tahun 1962 dengan Indonesia sebagai tuan rumahnya. Padahal, Bung Hatta yang meski saat itu statusnya sudah bukan Wakil Presiden, menolak proyek tersebut. Karena di masa itu, kondisi perekonomian Indonesia memang sedang lesu-lesunya. Penolakan ini, ternyata juga diikuti oleh para ahli ekonomi lainnya.
Tapi, Bung Karno tetap berkeras dan menganggap bahwa ini adalah proyek penting untuk menunjukkan martabat. Nah, retorika yang digunakan, memang biasanya diarahkan ke sana. Menunjukkan martabat. Proyek sejenis itu, pada akhirnya memang cenderung diwujudkan untuk memuaskan gharizah al-baqa’, yakni naluri eksistensi, ego, dan kebanggaan manusia.
Hal serupa ternyata terus berlanjut di masa presiden-presiden setelahnya. Di zaman Presiden Soeharto misalnya, ada proyek Taman Mini Indonesia Indah. Meski pada realitasnya, kemegahan-kemegahan yang berusaha ditunjukkan kepada publik, sebenarnya tidak sebaik itu.
Situasi ekonomi masyarakat nyatanya tidak begitu bagus. Banyak sekali kemelaratan, termasuk banyak daerah yang kondisinya belum terbangun dengan baik. Fasilitas kesehatan dan pendidikan kondisinya pun memprihatinkan. Alih-alih memusatkan penyaluran anggaran pada hal-hal tersebut, rezim justru fokus membangun hal-hal besar yang bisa dilihat secara fisik dan dianggap mampu untuk menjadi peninggalan yang membanggakan.
Di masa pemerintahan saat ini, hal tersebut juga berlanjut dengan berbagai proyek infrastruktur, termasuk pemindahan Ibu Kota Negara. Padahal, banyak ahli yang menentang proyek ini dengan berbagai alasan, baik dari sisi pendanaan, urgensitas, maupun dampak ekonomi yang diperkirakan tidak akan bisa sebesar harapan awalnya. Di sisi lain, ironi ini diperparah dengan banyaknya masyarakat yang terancam nyawanya karena berada di bawah garis kemiskinan dan tidak bisa makan.
Poin inilah yang kita pun harus jeli. Di balik proyek-proyek itu, memang ada maksud-maksud tertentu yang bisa jadi dimakan mentah-mentah oleh segelintir masyarakat.
Langkah pencitraan lainnya adalah, dengan melancarkan proyek-proyek berbau nasionalisme. Misalnya, proyek mobil ESEMKA. Bahkan melalui produk yang tak tahu ujungnya di mana ini, nama Jokowi bisa dicalonkan sebagai Gubernur DKI.
Termasuk juga laptop merah putih, yang tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) nya itu tinggi. Ini dipertanyakan juga. Untuk apa laptop yang TKDN nya tinggi, tapi kualitasnya secara spec dan harga tidak lebih baik? Kenapa tidak fokus pada peningkatan produksi dan membangun iklim industri dalam negeri?
Inilah yang sering dilewatkan oleh Indonesia. Kita punya potensi untuk memperbaiki kondisi industri dalam negeri, membuat mobil sendiri, laptop sendiri, asalkan memang ada kebijakan yang membatasi impor dan juga menumbuhkan sektor industri. Kenapa tidak fokus kepada itu, sehingga menghasilkan laptop yang murah dan bisa bersaing dengan laptop impor?
Polemik cat ulang pesawat kepresidenan juga demikian. Di tengah kondisi pandemi yang butuh efisiensi, anggaran justru disalurkan pada cat pesawat yang konon adalah untuk menjaga martabat Indonesia. Kalau catnya kusam, ya dianggap tidak bermartabat.
Padahal, letak martabat suatu bangsa itu seharusnya dinilai dari kebijakan pemerintah dan kondisi dalam negerinya. Bagaimana mungkin bisa mendapat martabat yang bagus, jika angka pasien Covid-19 di Indonesia saja masih terus meningkat?
Kemudian yang juga banyak terjadi adalah “Blame Game”, yakni permainan melempar kesalahan dan tanggung jawab oleh para politikus dan pembuat kebijakan. Hal ini dilakukan dengan tiga cara.
Pertama, strategi yang terkait cara mempresentasikan diri atau manajemen pencitraan agar diapresiasi masyarakat dengan lebih baik melalui pengalihan perhatian publik. Contohnya dengan minta maaf dan menunjukkan rasa bersalah. Meski tak mau disalahkan, tapi sikap ini menunjukkan citra yang bisa dikasihani.
Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Bu Risma ketika masih di Surabaya.
Pada Juni 2020, Ibu Risma minta maaf sampai sujud-sujud di depan dokter di Surabaya. Tapi, sujudnya itu di depan media. Ini strategi untuk mempresentasi diri agar mendapat apresiasi yang lebih baik dari rakyat.
Yang kedua adalah dengan mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada sebuah badan atau tim tertentu. Pada awal pandemi, komando ada di Menteri Kesehatan, lalu pindah ke BNPB, dan akhirnya ada di Pak Luhut. Ini juga cara sebenarnya, agar mata masyarakat tidak melihat ke pemegang kekuasaan tertinggi, melainkan kepada orang yang diberi tanggung jawab. Padahal, orang yang diberi tanggung jawab ini juga bukan orang yang punya kewenangan lebih, karena ia punya atasan yang harus didengarkan juga.
Yang ketiga adalah menyeleksi kebijakan yang bisa meminimalisir atau menghindarkan dari sikap disalahkan. Ibarat orang berantem, ini dilakukan agar meminimalisir damage-nya. Biar kalau jelek, ga jelek-jelek amatlah. Contohnya PPKM, PSBB.
Ketika seorang presiden mengurusi masyarakat dan harus memastikan kesejahteraan di seluruh negeri, sebenarnya adalah perkara yang sulit, karena ia harus bekerjasama dengan bawahan-bawahannya di pusat dan daerah. Makanya, hal itu seringkali tidak dilakukan secara utuh, tapi difokuskan pada citra-citra di media. Itu yang lebih ditonjolkan, karena membuat pencitraan yang bagus di media itu lebih mudah daripada membaguskan keadaan masyarakat di kondisi aslinya.
Strategi pencitraan lain yang tak boleh dilewatkan adalah politainment. Membuat tontonan yang berbau politik.
Justus Nieland, membahasakan politainment sebagai gabungan pemberitaan politik dan entertainment (industri hiburan). Sekilas tidak ada yang salah dengan politainment. Media untung karena rating yang diberikan publik cukup tinggi, politisi punya ruang untuk tampil bersih, dan masyarakat juga senang melihat politik tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat serius dibicarakan.
Namun, justru di sinilah masalah utamanya. Kita semua lebih suka menikmati pemberitaan tentang cucu, nikahan anak, hingga update outfit presiden, dibanding kebijakan yang selama ini dilakukannya.
Politik dimaknai bukan lagi sebagai putusan hajat hidup orang banyak yang dibentuk dalam program dan data, karena tertutupi oleh gimmick dan citra yang diberikan media.
Politainment bahkan bisa dianggap sebagai pengalihan isu yang sengaja dilakukan. Membuat suatu tontonan yang meski ada komentar baik dan buruk, namun setidaknya tidak membahas kebijakan.
Dalam politainment, kita bukan warga negara. Kita hanya penonton sandiwara.[]
________
Tulisan diolah berdasarkan materi Urwatul Wusqa, M.T dalam acara KLI Lite Talk #9 yang berjudul, “Mengapa Indonesia Sulit Berprestasi di Pentas Dunia?”
Diskusi lengkap KLI Lite Talk dapat dinikmati di channel youtube KLI: Komunitas Literasi Islam.
Dapatkan aksesnya di link berikut: https://linktr.ee/kli.books