PemikiranPolitikSejarah

Kekejaman PKI Terhadap Ulama, Santri, dan Kaum Beragama

Share the idea

“Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1960-an bukan hanya ateis, tak bertuhan, tetapi juga telah berkembang menjadi antiteis, anti Tuhan. Prinsip tersebut yang kemudian menjadi legitimasi mereka menyerang kelompok agama.”

KH. As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015

Adalah Vladimir Ilyich Lenin lewat kaum Bolshevik yang kemudian menegakkan Negara Uni Soviet, sebagai negara sosialis pertama di dunia yang lahir dari Revolusi Oktober 1917. Ia menindas Gereja Ortodoks, bahkan mematahkan pengaruh Islam dan Buddha. Ide tunggal “marxisme-leninisme” menjadi tangan besi dan palu godamnya.

Hal tersebut tak hanya terjadi di Soviet dan sekitarnya. Bila menilik sejarah Indonesia, sejarah panjang PKI menjadi bukti atas fakta tak terbantahkan yang menunjukkan bagaimana ‘benci’ dan ‘jijik’nya kaum merah terhadap agama, simbol-simbol agama, para pemeluknya, serta para ulama.

Penghinaan agama menjadi ciri khas PKI, yang bahkan dilakukan secara terang-terangan. Termasuk penghinaan atas Sunan Ampel sebagai bapak para Walisongo yang dihormati umat Islam se-Jawa (bahkan se-Nusantara) yang mendirikan masjid di kawasan Kembangkuning, persis di jantung kota Surabaya.

Kejadian penghinaan ini terjadi pada tahun 1962. Gerombolan Pemuda Rakyat yang didukung oleh kawanan Gerwani yang garang menyerbu Masjid tersebut. Tempat yang teramat suci itu diinjak-injak sambil bernyanyi dan menari-nari seraya menyanyikan lagu genjer-genjer. Sebab itu, terjadilah bentrok tak terelakkan antara kader NU (terutama Ansor) dan umat Islam Surabaya menghadapi PKI.

Tahun 1965, Karim D.P. selaku Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam ceramahnya di hadapan pimpinan PKI Malang, mengatakan bahwa kaum beragama terutama Kiai adalah termasuk kelompok borjuis feodal, musuh golongan proletar. Karena itu, PKI akan selalu berhadapan dengan kelompok agama, terutama Kiai. Hal ini semakin dipanaskan dengan berbagai retorika dan agitasi PKI, seperti “Setan Desa”, “Setan Kota”, “Kontra-revolusioner”, “Kepala batu”, dan “Kapitalis Birokrat (Kabir)”.

Penghinaan pun bertransformasi menjadi kriminalitas. Mubaligh K.H. Djufri Marzuqi menjadi korbannya. 27 Juli 1965 di Pemekasan Madura, ia ditikam ketika hendak memberikan ceramah dalam pengajian umum. 

Propaganda anti-agama juga dilakukan dengan pementasan berjudul “Matine Gusti Allah” dan “Sunate Jibril” yang dipelopori oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebagai perpanjangan tangan PKI. Berbagai pementasan kontroversial juga terjadi dalam pertunjukan ketoprak. Pagelaran kebudayaan seringkali menyebabkan bentrok, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi basis NU.

Pada 15 Januari 1965, Ludruk LEKRA membuat pementasan di Prambon (Sidoarjo) dengan lakon “Gusti Allah Dadi Manten (Allah Menjadi Pengantin). Pementasan yang menghina agama Islam tersebut langsung digerebek oleh pasukan Banser hingga pertunjukan itu bubar dan pemainnya dihajar oleh Banser.

Menyerang agama rupanya telah menjadi naluri bahkan tugas utama para aktivis PKI, sehingga pada suatu ketika PKI Kecamatan Turen (Malang) yang dipimpin oleh Kusnan dan Niam yang terkenal sakti itu menginjak Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan kitab suci dan hanya buku yang berisi kebohongan, seraya menantang kelompok muslim.

Akhirnya, Ketua Banser Turen bernama Samad menantang Niam berkelahi, dengan Niam yang mati terbunuh sebagai hasil akhirnya. Peristiwa ini membuat kelompok PKI Turen ketakutan dan menahan diri tidak melakukan penghinaan terhadap Kiai NU yang bisa mengundang kemarahan Ansor.

Kabar terjadinya konflik antara Ansor dan pihak PKI yang terjadi di berbagai daerah tersebut telah sampai ke pusat pemerintahan di Jakarta. Sehingga suatu ketika, Aidit melaporkan K.H. Idham Chalid (politisi NU) kepada Presiden dalam sidang Kabinet. Bahwa, Ansor di Kediri telah menghambat pelaksanaan landreform, menjadi musuh rakyat dan musuh petani, serta bertindak kontrarevolusi. Bahkan, Aidit kemudian mengusulkan agar GP Ansor dibubarkan.

Dalam kesempatan itu, K.H. Idham Chalid menjelaskan duduk persoalannya, bahwa selama ini BTI (Barisan Tani Indonesia – salah satu ormas petani yang terhubung dengan PKI) melakukan aksi sepihak yang dengan tidak sah menduduki tanah orang lain. Rakyat bersama Pemuda Ansor hanya melawan karena mempertahankan haknya. 

Sebagai penutup pamungkas, di hadapan Presiden dan Aidit, Idham Chalid yang dikenal lembut itu mengatakan,

“Kalau Ansor ditampar oleh BTI, maka haram hukumnya bagi saya untuk melarang membalasnya. Ansor tidak bisa dibubarkan. Justru BTI yang harus dibubarkan, karena aksi sepihak melanggar hukum”

Mendengar keterangan NU yang tegas itu, Aidit terdiam dan Presiden memahami duduk persoalannya. Kemampuan NU memberikan argumen tentu mendapat apresiasi dari partai lain yang selama ini takut menghadapi PKI dan tidak berani tegas di hadapan Presiden.

Bahkan setelah itu, pada tahun 1964 K.H. Idham Chalid kemudian datang ke Blitar dan Kediri sebagai tempat terjadinya berbagai konflik agrarian, untuk mendeklarasikan berdirinya Barisan Ansor Serba Guna (BANSER) guna melindungi ulama dan menghadapi provokasi PKI.

Dengan menguasai kota itu, PKI mulai melumpuhkan pesantren dan membantai para Kiainya. Berbagai perkampungan Islam juga menjadi sasaran, seperti yang terjadi di Desa Bangsri. Harta penduduk desa juga dirampas dan penduduknya ditawan, lalu dimasukkan ke dalam sumur-sumur tua. Korban mencapai belasan orang, dan hanya beberapa yang bisa meloloskan diri.

Berbagai tempat ibadah seperti langgar dan masjid dirusak dan dinodai, sebelum kemudian dibakar atau menangkap jamaahnya. Kekejaman seperti itu merata di daerah yang dikuasai FDR-PKI, baik di Madiun maupun kota-kota lain disekitarnya seperti Ponorogo, Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan sebagainya. Selama masa revolusi itu, bahkan Kantor Pusat PBNU dipindah dari Surabaya ke Madiun.

Dalam menghadapi kekuatan pesantren, PKI memiliki slogan, “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!”. Bukan hanya slogan, bukan pula gertakan, tetapi benar-benar terlaksana. Strateginya: teror, tangkap, dan bantai.

Demikianlah, komunisme telah menggiring manusia menjadi agnostik, bahkan ateis. Namun, ingkar terhadap Tuhan saja tidak cukup. Ingkar harus dibarengi dengan caci-maki, yang kemudian menjadi penistaan.

Maka, komunisme bukan hanya sebuah ideologi yang harus dijauhi, namun juga harus dihancurkan. Meski eksistensinya hari ini harus tiarap, namun ia tak boleh menjadi solusi yang diadopsi oleh umat Islam ketika ingin melawan dan meruntuhkan berbagai ketidakadilan hidup yang terjadi akibat diterapkannya kapitalisme. Wallahu a’lam.[]

Sumber:

Andi Rahman Alamsyah dan Bayu A. Yulianto. Gerakan Pemuda Ansor: Dari Era Kolonial Hingga Pascareformasi (2018). Pustaka Obor: Jakarta.

Beggy Rizkiansyah, dkk. 2017. Dari Kata Menjadi Senjata : Konfrontasi Partai Komunis Indonesia dengan Umat Islam. Penerbit Jurnalis Islam Bersatu (JITU): Jakarta.

Budi Susanto S.J., 2003. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. Penerbit Kanisius: Tangerang Selatan. 

DZ. Abdul Mu’nim. 2014. Benturan NU-PKI 1948-1965. Pengurus Besar Nadhatul Ulama: Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *