PemikiranSejarah

Peristiwa Besar Pasca Runtuhnya Khilafah : Mengenal Ali bin Abdul-Raziq

Share the idea

Ketika Mustafa Kemal secara resmi menghapuskan Khilafah pada 3 Maret 1924, reaksi berdatangan dari berbagai wilayah, seperti Mesir, Libya, Suriah, Afghanistan, dan India. Berbagai reaksi itu mencerminkan adanya ikatan dengan Khilafah, meski secara hakikat Khilafah telah runtuh bertahun-tahun sebelumnya. Keruntuhan Khilafah yang begitu tiba-tiba juga mengejutkan kalangan elit politik dan pemuka agama di seluruh wilayah Timur Tengah dan negeri Muslim pada umumnya. Situasi itu membuat Sharif Husain dari Hijaz menyatakan diri sebagai khalifah untuk menjawab keraguan mayoritas umat Muslim di seluruh dunia.

Di sisi lain, penghapusan Khilafah telah membangkitkan sentimen dan emosi Islam di seluruh kalangan masyarakat Mesir karena Khilafah  dianggap sebagai faktor pemersatu umat Islam dan bukti keberlangsungan sejarah mereka.  Dalam pertemuan dewan di al-Azhar pada 25 Maret 1924 (hanya selang 3 minggu setelah penghapusan Khilafah), para ulama merilis pernyataan mengenai pandangan Islam klasik bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia,” dan perwakilan Rasulullah dalam “melindungi  agama dan penerapan hukum-hukumnya.” Bahkan, mereka mengklaim bahwa “Khilafah pimpinan Abdul Majid (sebagai Khalifah terakhir)bukanlah Khilafah yang sah” karena “Islam tidak mengakui khalifah” setelah kekuasaannya dipisahkan dan karena baiat tidak diberikan kepadanya oleh kaum Muslim dengan cara yang diakui syariah.

Semua penguasa saat itu, termasuk Raja Fu’ad, Sharif Husain, dan Ibnu Saud, pada awalnya berpura-pura tidak tertarik. Husain sempat mengklaim bahwa ia menduduki posisi Khalifah dalam waktu singkat setelah mengambil sumpah dari sejumlah pendukungnya. Akan tetapi, pernyataannya yang “prematur” itu tidak ditanggapi secara serius oleh orang-orang di sekitarnya, apalagi oleh umat Islam secara luas. Seorang sejarawan Mesir, Ahmed Shafiq, mengatakan bahwa “di Mesir ada kesepakatan atas wajibnya keberadaan Khilafah dalam bentuk apapun, dan bahwa Husain bin Ali tidak akan menjadi khalifah.”

Di Mesir, panasnya isu Khilafah tersebut justru menjadi dagangan politik antara Raja Mesir dengan pihak liberal. Beberapa pihak berpendapat bahwa istana berambisi merebut gelar Khalifah dan berada di belakang ‘ulama’ al-Azhar untuk mendukung setiap sikap dan langkah mereka. Pernyataan bahwa “Inggris menginginkan Fu’ad menjadi khalifah” dianggap sebagai kebohongan dan siasat politik oleh lawan politiknya, terutama oleh Partai Konstitusional Liberal. Hal itu sangat ironis mengingat bahwa keluarga yang mendirikan partai itu diketahui justru menjadi pendukung Inggris di Mesir dan dikenal memiliki hubungan dekat dengan Konsulat Inggris di Mesir, Lord Allenby.Konflik antara Raja dan partai Allenby merupakan perebutan konstitusional dan legal yang tidak ada hubungannya dengan al-Azhar.

Konferensi Khilafah di Kairo yang direncanakan berlangsung pada 1925 pun tak luput dari anggapan bahwa hal tersebut adalah upaya terselubung raja Mesir, Ahmad Fu’ad, untuk merebut gelar khalifah. Berbagai masalah politik yang semakin memanas menyebabkan konferensi itu harus ditunda dan baru dapat terlaksana pada 1926. Salah satunya adalah kegemparan akibat penerbitan buku berjudul, “Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan” oleh Ali bin Abdul-Raziq.

Buku yang diterbitkan di tengah-tengah kesedihan umat atas nasib Khilafah dan kesepakatan di Mesir bahwa Khilafah harus dibangun kembali dalam bentuk tertentu itu justru menantang pandangan yang populer kala itu. Tulisannya bertentangan dengan konsep Islam klasik tentang Khilafah dan menampar ajaran Islam. Bukunya viral dan menjadi pembahasan di mana-mana. Bagi Raziq, Khilafah ”tidak ada kaitannya dengan agama, begitu pun peradilan, pemerintahan, dan negara” yang “murni masalah politik.” Agama “tidak mengakui Khilafah, dan tidak juga menyangkalnya, dan tidak memiliki perintah atau larangan apa pun tentang Khilafah.” Agama membiarkannya begitu saja agar kita mengacu kembali kepada aturan pemikiran, pengalaman bangsa-bangsa, dan dasar-dasar politik.” Akibatnya, situasi itu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk saling menjatuhkan.

Ali Abdul-Raziq merupakan alumni Al-Azhar yang berasal dari keluarga politisi yang mendirikan partai Konstitusional Liberal, lawan politik dari Raja Mesir. Karena pengaruh keluarga dan kemampuan finansial, ia dapat berkuliah di Universitas Oxford pasca kelulusannya dari Al-Azhar. Sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, Ia kembali ke Mesir untuk bekerja sebagai hakim di pengadilan syariah.

Salah satu bagian dari buku itu menyatakan bahwa Khilafah sebenarnya merupakan institusi yang tidak Islami dan bahwa Islam sama sekali tidak berkaitan dengan politik. Pernyataan itu tentu saja bertentangan dengan pandangan yang selama ini dipegang oleh umat Islam selama empat belas abad.

Ia kemudian dijatuhi sanksi berupa pencabutan ijazah, pencabutan status sebagai ulama, dan pelarangan bekerja sebagai hakim. Sanksi itu diambil berdasarkan keputusan bulat dalam sidang yang beranggotakan dua puluh empat rekannya. Kemarahan dan protes terhadap penghapusan simbol sejarah Islam yang berusia berabad-abad itu pada akhirnya memang mereda. Namun, tulisannya telah memberikan pengaruh yang sangat besar. Hingga pada 1930-an, berbagai pertanyaan tentang Khilafah dan cita-cita penegakannya tidak lagi terlihat relevan. Gagasan Khilafah justru terbengkalai dalam ruang politik.

Menurut Raziq, dalam pandangan klasik tentang kepemimpinan, khalifah memperoleh otoritasnya langsung dari Tuhan atau umat, dan ia membandingkan hal itu dengan argumen para pemikir Eropa, seperti Thomas Hobbes dan John Locke.Ketika membahas beberapa hadits Rasul yang berkaitan dengan hukum, Khilafah, dan baiat, Raziq mengacu kepada Alkitab dan ayat-ayat (yang diduga diucapkan oleh Yesus) untuk “menyerahkan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah, dan menyerahkan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar.”

Raziq menjelaskan bahwa “segala sesuatu dalam riwayat Rasul yang menyebutkan kepemimpinan, Khilafah, dan baiat tidak menunjukkan apa pun yang melebihi pernyataan Yesus tentang beberapa hukum pemerintahan kaisar.” Ia juga menolak dalil yang umumnya digunakan untuk menunjukkan pandangan Islam klasik tentang kewajiban Khilafah, terutama dengan menolak konsep konsensus secara keseluruhan.

Secara historis, negara pada masa Rasulullah “berbentuk kesatuan Islam dan bukan kesatuan politik.” Maka, “kepemimpinan Rasul di antara mereka hanya berupa kepemimpinan religius,” dan “kepatuhan umat kepada Rasul merupakan wujud keyakinan beragama, bukan ketaatan terhadap  pemerintah dan otoritas.” Aturan umat yang hidup setelah wafatnya Rasulullah, termasuk generasi pertama kaum Muslim, “tidak memiliki kaitan dengan risalah Rasul dan tidak didirikan berlandaskan agama.” Alih-alih menjadi negara Islam, negara itu menjelma menjadi entitas kerajaan Arab.Khilafah, menurut Raziq, “hanya, dan akan selalu, menjadi bencana bagi Islam dan kaum Muslim.” Di bagian akhir, ia menganggap Islam sudah ketinggalan zaman dan mendukung sekulerisme dengan menyatakan bahwa “agama Islam tidak melarang kaum Muslim bersaing dengan negara lain,” dan kaum Muslim wajib “menghancurkan sistem usang yang merendahkan dan membuat mereka tunduk,” sekaligus membangun “dasar-dasar kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang dilandasi oleh hasil pemikiran manusia yang paling modern.”

Sebagai kesimpulan, buku yang diklaim Raziq disusun selama sembilan tahun merupakan upaya untuk memutuskan hubungan antara kaum Muslim dan Khilafah. Buku itu juga digunakan untuk merekonstruksi Islam sesuai gambaran Kristen Eropa, tetapi tanpa adanya paus. Menurut Mohammad ‘Amara, pada awalnya sekularisme dianggap sebagai solusi untuk masalah di Eropa saja dan tidak disebarkan di Timur Tengah kecuali oleh sebagian kecil komunitas yang dikenal meniru tren politik dan budaya Barat secara membabi buta. Di sisi lain, Raziq tidak ubahnya seperti kritikus yang “berpakaian Islami,” yang memandang Islam seperti Kristen, dan Khilafah seperti aturan Gereja. Oleh karena itu, bagi Raziq, sekularisme menjadi “solusi Islami bagi masalah Islam.” []

Sumber :

Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten dan Marat Shterin (eds.). Demystifying The Caliphate: Historical Memory And Contemporary Contexts. New York: Oxford University Press, 2015.

Hassan, Mona. Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History. New Jersey: Princeton University Press, 2017.

Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New York: Columbia University Press, 1985.

Pankhrust, Reza. The Inevitable Caliphate?: A History Of The Struggle For Global Islamic Union, 1924 To The Present. New York: Oxford University Press, 2013

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *