Pengorbanan Cinta Sang Manusia Mulia
Idul Adha sebentar lagi tiba. Laksana Ramadhan, ia adalah momen yang terus berulang setiap tahun. Sudah saatnya untuk sesekali bertanya pada diri kita, “adakah momen tersebut telah membekas dan menguatkan iman kita?” Sungguhlah merugi ketika jawabannya adalah tidak.
Mari kita tengok sebuah kisah besar nan agung. Pergumulan antara ketaatan, cinta, dan cita keluarga mulia lagi utama, Ibrahim, Hajar dan Ismail.
Imam Ibnu Katsir, mengisahkan ini dengan indah dalam kitabnya, “Qashashul Anbiya”.
Setelah keluarga kecil tersebut terus berdo’a dan berjuang dalam kesabaran, akhirnya anugerah terindah hadir di tengah-tengah mereka. Namun, hanya sesaat setelah Ibrahim mengantarkan istri dan bayi mungilnya ke Mekkah yang sangat tandus dan tak berpenghuni, dengan segera Ibrahim justru meninggalkan keduanya.
“Wahai Ibrahim, ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau meninggalkan kami di lembah ini yang tak ada seorang pun dan tidak ada sesuatu apapun disini?”
Tanya Hajar bertubi. Ibrahim membuang muka dan hanya dapat berlalu dan terus bergerak meninggalkan istri dan anak yang ia sungguh cintai. Perkara ini sungguhlah penting. Ia sudah memantapkan hatinya. Bahkan sekedar menoleh balik pun tidak.
Tak berselang lama, Hajar kembali bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan ini?”
Tertegun. Ibrahim hanya dapat menjawab singkat, “Ya”.
Kelegaan memancar dari hati seorang Hajar. Dengan mantap ia melanjutkan, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyianyiakan kami…”
Hajar telah menggantungkan takdirnya hanya pada Sang Maha. Sungguh, ia sangat mengetahui bahwa Ibrahim sangatlah mencintai dirinya. Namun, ia pun sadar bahwa dirinya tak boleh menjadi penghalang akan kecintaan tertinggi seorang manusia yang seharusnya hanya tertuju kepada Sang Maha. Inilah sebaik-baik wujud ketaatan pada Allah Yang Esa.
Hajar tak risau ditinggal sepi di padang tandus tanpa kehidupan. Ia gantungkan cita dan cintanya hanya kepada Sang Maha.
Pengorbanan dan kesabaran yang membersamai ketaatan adalah bukti kepatuhan dan kecintaan hanya pada Nya.
Ibrahim pun telah menggantungkan cintanya hanya kepada Sang Maha. Mantap meninggalkan istri dan anak yang sungguh kebersamaannya telah ia nantikan puluhan tahun lamanya. “Ayah macam apa yang dapat melakukan hal itu?”
Sungguh, sosok bapak para Nabi ini telah mengajarkan, bahwa pangkal cinta seorang bapak adalah hanya pada Sang Maha, alih alih sekedar mencinta manusia, Istri dan anaknya. Ibrahim telah mengejar cinta Nya, begitu pun dengan Hajar.
Ketika ujian pertama dengan meninggalkan Istri dan anaknya di tanah yang gersang, lembah tak berpenghuni, tak bertumbuh tumbuhan dan berkeliaran hewan barang satu pun berhasil dilewati, tak berapa lama kemudian ujian ketaatan selanjutnya hadir menerpa.
Saat Ismail semakin beranjak umurnya, wahyu Allah turun atas Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya. Sungguh, sebuah ujian yang berat lagi sulit. Kematian adalah lonceng yang akan memisahkan ia dan Ismail, anak pertama yang ia cintai.
Ibrahim meneguhkan hati. Dengan mantap ia mendatangi Ismail dan berkata,
“Ibrahim berkata : Hai, anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (TQS. Ash Shoffat : 102).
Dengan bergegas, putera yang sangat sabar ini memenuhi seruan Tuhannya, memberikan rasa bahagia dan dukungan moril pada sang ayah. Alih-alih mempertanyakan perkara tersebut, atau bahkan menganggap ayahnya sudah gila. Ismail dengan mantap menjawab,
“Ia menjawab : Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS. Ash Shoffat : 102).
Setelah itu, Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Allah. Demi Tuhannya, seorang ayah herus meneguhkan pendirian dan merelakan kepergian anaknya. Bahkan, ia sendiri lah yang akan menggorok tenggorokan buah hatinya.
Ismail juga telah menyiapkan hati tuk dipisahkan dengan ayah dan bundanya. Semata demi menghadap Sang Maha Kuasa. Ketaatan dan kecintaan hanya kepada Allah lah yang telah menguatkan pengorbanannya.
Saat pisau telah terhunus di tenggorokan Ismail, terucaplah kalimat mulia dari lisan Ibrahim, kalimat basmalah dan takbir, yang ia niatkan hanya karena Allah Sang Maha Besar. Begitu pun Ismail, ia terus melafadzkan kalimat syahadat. Kalimat terbaik yang ia ucapkan sebelum menjemput kematianya.
Pada saat itu pula, Allah berseru, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, (TQS. Ash Shoffat : 105). Allah pun melanjutkan, “Sesungguhnya, yang demikian itu benar-benar suatu ujian yang nyata” (TQS. Ash Shoffat : 106).
Kemudian Allah mengganti Ismail dengan sembelihan yang besar,“Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar”. (TQS. Ash Shoffat : 107).
Seketika, Allah mengganti Ismail dengan sebuah domba putih, bermata hitam, dan bertanduk besar. Ismail pun tak terhunus pisau barang sedikit pun. Sosoknya telah berganti dengan domba sebagai sembelihan.
Sebuah kisah yang telah kita ketahui sejak kecil. Berulang dan terus berulang. Namun, kisah di atas telah merefleksikan betapa keimanan hanya kepada Nya adalah hal mendasar yang ini bahkan hari ini sering kita lupakan. Sungguh, keimanan bukanlah sekedar kata indah yang terucap di bibir, namun selayaknya terekam jelas dalam segala rupa dan laku kehidupan.
Sebuah cerminan kisah cinta yang indah. Renungan bagi siapa pun, yang telah maupun yang belum berkeluarga.
Hei! akan dibawa ke mana sang bahtera rumah tangga?
Taat tanpa tapi, taat tanpa nanti [].
Sumber :
Ibnu Katsir. Qashashul Anbiya: Kisah Para Nabi. Qisthi Press: Jakarta.