Sejarah

Belajar Dari Sosok Ar-Razi: Dokter Muslim Yang Berhasil Mengubah Dunia

Share the idea

Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi. Hidup pada 865-925 M, sosok ilmuwan yang dikenal di dunia Barat dengan nama Rhazes tersebut telah menghasilkan berbagai karya luar biasa yang tersebar luas dan membimbing generasi dokter masa depan di dunia Islam dan Eropa selama berabad-abad. Jika bukan karena keberadaan Ibnu Sina (Avicenna) yang hidup 55 tahun setelah kematiannya, barangkali Ar-Razi layak dinobatkan sebagai dokter muslim termasyhur. Atas kontribusinya, bahkan Prof. Dr. Raghib As-Sirjani tak segan menyebut Ar-Razi sebagai ilmuwan paling besar dalam sejarah bidang kedokteran.

Tidak hanya berperan sebagai dalang di balik ditemukannya vaksin, Ar-Razi juga meletakkan dasar-dasar metode mengenali penyakit melalui analisis urin. Salah satu penemuan fenomenalnya adalah kemoterapi dan tahap awal dalam menangani disfungsi ereksi. Sebagai dokter yang tentu sangat peduli terhadap kebersihan, Ar-Razi bersama Qusta bin Luqa, Ibnu Al Jazzar, dan Al Masihi dapat mengatasi masalah kebersihan di kota yang padat penduduknya dengan membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan kepada kesadaran masing-masing orang.

Ia mengembangkan obat khusus yang efektif untuk penyakit umum seperti batuk, sakit kepala, serta sembelit. Di dalam ensiklopedia kedokteran raksasanya yang berjudul, “The Virtuous of Life” (Al-Hawi), Ar-Razi sangat menekankan pentingnya dedikasi dalam bidang kedokteran, serta perbaikan dan pembelajaran terus-menerus. Selanjutnya, ia percaya bahwa praktik kedokteran adalah perbuatan mulia. Keahlian sebagai dokter adalah sebuah amanah yang telah dipercayakan oleh Allah untuk senantiasa digunakan dalam berbuat kebaikan kepada siapa saja yang membutuhkan, bahkan kepada pihak musuh dan orang-orang yang tak mampu. Sehat bukan hanya hak orang kaya, namun juga hak orang miskin. Oleh karena itu, ia terkenal suka membebaskan biaya bagi pasien miskin di rumah sakit Baghdad.

Ar-Razi juga merupakan peletak dasar-dasar ilmu farmasi. Ia menjelaskan sifat-sifat obat, teknik pembuatan dan tata cara meraciknya, manfaatnya, dan usia simpan obat sebelum kadaluarsa (expired date). Beliau membagi obat-obatan menjadi empat bagian: 1) Bahan-bahan bumi (tambang), 2) Bahan-bahan nabati (tumbuhan/herbal), 3) Bahan-bahan hewani, dan 4) Obat-obatan pecahan.

Kesadaran terhadap pentingnya keamanan dalam bidang obat-obatan yang rawan penipuan, menjadikan Khilafah di masa kekuasaan Khalifah Al-Ma’mun membuat lembaga pengawasan obat yang tunduk dalam pengawasan pemerintah. Hal ini kemudian semakin berkembang pada masa Al-Mu’tashim (Khalifah setelah Al-Ma’mun) yang memerintahkan agar setiap apoteker diuji kecerdasan dan profesionalitasnya, layaknya sertifikasi dan izin praktik di zaman sekarang. Sistem ini kemudian ditiru oleh Eropa pada masa pemerintahan Raja Frederick II (1210-1250 M). Ketika di masa sekarang dikenal profesi Quality Control dan Quality Assurance, maka dalam dunia farmasi, umat Islam adalah generasi pertama yang menghasilkan apoteker ahli yang dapat menjamin keamanan obat, dari hulu hingga hilir, dari bahan-bahan hingga produk jadi.

Atas berbagai pencapaian Khilafah dalam dunia farmasi, Gustave Le Bon (seorang polymath Prancis) memberikan komentar, “Kita sanggup menisbatkan tanpa batas minimal yang memberatkan ilmu farmasi kepada mereka. Lalu kita katakan bahwa farmasi adalah ilmu hasil penemuan bangsa Arab (Islam) sebagai tempat muaranya. Mereka telah menambah pengobatan yang telah dikenal sebelumnya dengan menyusun berbagai macam penemuan, dan bangsa pertama yang menulis buku tentang obat-obatan.”

Kemampuan Ar-Razi tidak terbatas pada ilmu kedokteran saja. Layaknya ilmuwan Islam lainnya, ia juga seorang polymath. Ia sering mendengar dan menyimak berbagai ide dan masalah yang menjadi wacana masyarakat dan memberikan kesimpulan atas masalah-masalah tersebut. Jika ia menemukan masalah yang sulit, ia mencari solusinya bersama dengan murid-muridnya.

Ibnu Nadim (ilmuwan muslim abad ke-10 M, penulis kitab Al-Fihrist yang disebut-sebut sebagai bibliografi terbesar sepanjang masa) menceritakan, “Ar-Razi adalah satu-satunya orang di zamannya, istimewa di masanya, yang telah mengumpukan pengetahuan ilmu pada masa lalu, terutama ilmu kedokteran. Dia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain. Dia duduk dalam majelisnya dikelilingi murid-muridnya, dikelilingi murid-murid mereka, juga dikelilingi murid-murid lain. Ketika itu, datang seorang yang sakit lantas dia mendiagnosis apa yang terjadi pada waktu pertama kali dia menemuinya. Jika mereka mengetahui keadaan tersebut (hasil diagnosis) niscaya akan dilakukan tindakan lanjutan dan jika tidak dia akan merujuk kepada pakar lain. Jika mereka benar, Ar-Razi tidak akan membahas dan membincangkan masalah tersebut (tidak bersikap riya dan sombong). Dia seorang yang mulia, bersikap baik terhadap manusia, lemah lembut kepada orang-orang miskin dan memuliakan orang-orang sakit. Dia berjalan mengelilingi murid-muridnya, memerhatikan keluhan dan kesakitan mereka.”

Ar-Razi adalah dokter yang pertama secara kritis dan objektif menantang ide-ide Galen (Galenus), seorang ‘raksasa’ ilmu kedokteran asal Yunani pada zaman kuno (hidup sekitar abad ke-2 Masehi) yang pendapat-pendapatnya tidak dibangun dari metode eksperimen yang dapat diverifikasi kebenarannya. Galen berpendapat, bahwa tubuh terdiri atas empat cairan: darah, empedu hitam, empedu kuning, dan dahak. Menurutnya, penyakit datang jika terjadi ketidakseimbangan cairan tadi di dalam tubuh.

Meskipun sejumlah gagasan Galen termasuk revolusioner pada masanya, sebagian gagasannya yang lain sangat cacat. Namun, teorinya tersebut ternyata diterima tanpa kritik oleh para dokter bahkan selama ratusan tahun setelah kematiannya. Ar-Razi tak segan memberikan kritik atas Galen dan secara terang-terangan menulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul, “Doubts About Galen”. Ia menyimpulkan bahwa penyakit fisik tak dapat hanya dikaitkan dengan ketidakseimbangan antara cairan tubuh atau hukuman dari Tuhan seperti yang diyakini oleh orang-orang Eropa pada abad pertengahan, tetapi karena faktor eksternal dan internal yang dapat didiagnosis.

Barangkali, metode eksperimen adalah sebuah metode umum yang sangat familiar di zaman sekarang. Namun di abad pertengahan, para ilmuwan Yunani dan India seringkali berhenti pada tataran teoritis (hipotesis) tanpa dibuktikan melalui percobaan untuk menuntaskannya dalam kajian ilmiah. Di zaman sekarang, hal ini tentu saja tak dapat diterima. Meski seringkali teori itu benar, namun banyak terjadi ketidakjelasan dan pencampuran antara benar dan salah.

Hal ini sangat berbeda dengan ilmuwan muslim, yang sangat menyadari bahwa meskipun hanya teori, namun apa yang telah disampaikan dan diterima publik patut dipertanggungjawabkan. Maka, mereka ‘selangkah lebih maju’ dengan meneliti dan menyelidiki sebuah perkara hingga diperoleh kesimpulan yang benar. Berbicara tentang metode eksperimen, maka kita akan dikenalkan dengan sosok Jabir bin Hayyan (di Barat dikenal dengan nama Geber), seorang pakar kimia sebagai orang pertama yang menyerukan metode eksperimen, jauh sebelum metode ini dipopulerkan oleh Francis Bacon, yang dikenal sebagai bapak empirisme.

Sebagai seorang dokter kelas dunia, Ar-Razi pun sangat berpegang teguh dengan metode eksperimen, sehingga apa yang ia sampaikan telah terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum diberikan kepada manusia, ia senantiasa melakukan uji coba terhadap kera. Terkait betapa pentingnya metode eksperimen ini, Ar-Razi pun mengungkapkan,

“Ketika kita mendapati realitas itu bersebrangan dengan teori yang telah berlaku, maka yang wajib diambil adalah realitas. Meskipun seluruh teori tersebut telah beredar dan ditetapkan para ilmuwan terkenal.”[]

Sumber :

Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira: Jakarta.

Prof. Dr. –Ing. H. Fahmi Amhar. 2011. TSQ Stories: 50 Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam. Al-Azhar Press: Bogor.

Prof. Dr. Raghib As-Sirjani. 2017. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *