Sejarah

Pengaruh Pembebasan Konstantinopel: Pujian Rakyat Jawi Atas Khalifah

Share the idea

Menarik jika kita memperhatikan ungkapan rakyat dataran tinggi Gayo di Aceh mengenai silsilah transmisi wahyu dari Allah kepada penguasa mereka (Bowen, 1991: 221-222),

Mata Rantai silsilah:

Firman dari Allah

Hadits dari Nabi

Kata sepakat jumhur dari Rum

Sabda dari Aceh

Ingatlah keempat (silsilah) ini.

“Mata rantai silsilah” dari Gayo ini mengurai hierarki kedaulatan hukum yang mengiringi kehidupan mereka. Yang pertama adalah firman dari Allah, yang berarti Kitab Suci al-Qur’an. Yang kedua adalah hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang termaktub dari ucapan, perbuatan, dan persetujuannya. Yang ketiga adalah kata sepakat (ijma’) dari penguasa “Rum”, baru diakhiri dengan sabda dari para sultan di Aceh Darussalam.

Apa yang mereka maksud dengan “Rum”?

Dalam bahasa Arab, istilah “Rum” ditujukan untuk menyebut kata “Romawi”.

Istilah ini juga diabadikan menjadi nama salah satu surat dalam al-Qur’an, surah ar-Rum, dimana ayat-ayat pembukanya bercerita tentang peperangan yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam antara penguasa Romawi Byzantium, Flavius Heraklius Augustus, dan Kaisar Persia, Kisra II Parvez.

Namun yang dimaksud oleh rakyat Gayo dalam “Mata Rantai Silsilah” mereka bukanlah penguasa Romawi yang memeluk agama Nasrani.

Rakyat Gayo ternyata mengalamatkan istilah “Rum” kepada segolongan kaum Muslimin yang berhasil menaklukkan Ibukota Romawi Byzantium pada tahun 1453, Konstantinopel, dan menjadikan para penakluk ini dijuluki sebagai Sultan Rum, “Penguasa Islam Romawi”. Tentu saja ini semua merujuk kepada sepak terjang Sultan Muhammad al-Fatih, penguasa ketujuh Bani Utsmaniyyah yang menjadikan bekas ibukota Romawi Byzantium sebagai pusat pemerintahannya dan mengganti namanya menjadi Istanbul.

Lukisan suasana pembebasan Konstantinopel

Semenjak era Muhammad al-Fatih, pamor Bani Utsmaniyyah sebagai kaum Muslim penguasa “Rum” meningkat pesat. Hal ini makin menjadi-jadi ketika cucu al-Fatih, yakni Sultan Selim I, meluaskan wilayah negara Utsmaniyyah sampai ke Mesir, Hijaz, dan Irak, dan mewarisi gelar Khalifah dari Bani ‘Abbasiyyah pada tahun 1517.

Penguasaan mereka atas Hijaz yang di dalamnya ada dua tanah suci, Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, menjadikan diri mereka sebagai Khadim al-Haramayn, Pelayan Dua Tanah Suci, hingga akhirnya mereka dikenal oleh kaum Muslim di seluruh dunia yang berangkat untuk ibadah haji. Setelah itu kaum Muslim sedunia akan berkata, “pelayanan dua tanah suci dan kepemimpinan umat Islam global kini didapuk oleh Khilafah Bani Utsmaniyyah, Sultan Rum!

RUM, KHILAFAH UTSMANIYYAH, DAN KEPEMIMPINAN GLOBAL KAUM MUSLIMIN

Ketika kesultanan-kesultanan di Nusantara mulai tumbuh bak jamur di musim hujan pada abad ke-16, yang menjadi pemimpin global umat Islam saat itu adalah Khilafah Bani Utsmaniyyah.

Dibantu dengan Sokollu Mehmed Pasya, wazir agungnya yang bervisi global, Khalifah Sulayman al-Qanuni mengarahkan direksi kebijakan jihadnya langsung ke Samudera Hindia dan Nusantara, selain dari sisi Eropa. Ini terjadi ketika Khalifah Sulayman melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulayman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis. Dan dengan demikian, mengamankan pelayaran haji ke Jeddah. Khalifah Sulayman al-Qanuni juga mengirim surat ancaman kepada Raja Portugis di Lisbon, Dom Sebastião, dengan mengatakan,

“Telah dilaporkan kepada saya bahwa jamaah haji dan para pedagang Muslim yang datang dari India melalui laut telah dianiaya. Jika engkau masih membangkang, maka dengan pertolongan Allah yang Maha Agung, kami akan melakukan segala hal yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban di negeri-negeri itu, dan tiada guna lagi bagi engkau untuk memprotesnya!” (Casale, 2010: 125).

Potret Sultan Sulayman al-Qanuni dan Raja Dom Sebastião

Aktivitas armada Khilafah Utsmaniyyah di Samudera Hindia dan Asia Tenggara tentulah menarik perhatian segenap penguasa Muslim yang ada di wilayah ini.

“Perang Dunia” antara aliansi Utsmaniyyah dan aliansi Portugis di Samudera Hindia (Casale, 2010: 136).

Ketika Sultan Aceh yang ketiga, Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar mengirimkan surat ke Khilafah Utsmaniyyah pada tahun 1566, hal ini dicatat oleh Syaikh Nuruddin ar-Raniri dalam magnum opus-nya, Bustan as-Salathin:

“Ialah yang mengadakan segala istiadat kerajaan Aceh Darussalam dan menyuruh utusan kepada Sultan Rum, ke negeri Istanbul, kerana meneguhkan agama Islam. Maka dikirim Sultan Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu menuang bedil. Maka pada zaman itulah dituang orang meriam yang besar.” (Iskandar, 1966: 31-32).

Memori hangat akan hubungan Khilafah Utsmaniyyah atau Sultan Rum dengan Aceh senantiasa terawat sampai abad ke-19, ketika Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah (k. 1823-1838), penguasa Aceh ke-30 kembali mengirim surat kepada Khilafah Utsmaniyyah. Sultan Manshur Syah menceritakan sabab-musabab kenapa ia mengirim surat kepada Sang Khalifah:

“Dan patik berpikirlah dengan segala hulubalang dan orang besar2 yang dalam negeri Aceh pasal hal itu maka berkatalah segala hulubalang kepada patik: “Adapun sekarang ini karena kita hendak berlawan perang dengan orang Belanda, karena Belanda itu adalah (punya) kapal perang, karena (kita) kurang daripadanya (kapal perang), dan lagipula karena kita ini di bawah perintah Sulṭān Rūm. Sekarang barang2 hal pekerjaan wajiblah tuanku kirimkan suatu surat kepada penghulu kita Sulṭān Rūm dan hendaklah kita minta tolong bantu padanya lagi serta dengan kita minta kapal perang barang berapa yang memadai serta (di) dalamnya orang Turki.” (BOA. İ.HR, 66/3208).

Yang menjadi pertanyaan besar kemudian adalah, sejak kapan Kesultanan Aceh berada “di bawah perintah Sulṭān Rūm”? Dan darimana para hulubalang (ulèëbalang) itu mengetahuinya? (Bersambung ke artikel berjudul “Sejak Kapan Rakyat Aceh Menjadi Warga Negara Khilafah?

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Başbakanlık Osmanlı Arşivi (BOA/Arsip Perdana Menteri Utsmani), Istanbul, İ. dengan nomor panggil HR. 66/3208

Giancarlo Casale. 2010. The Ottoman Age of Exploration. Oxford University Press: Oxford.

John Bowen. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989. Yale University Press: London.

Teuku Iskandar (ed). 1966. Bustanu’s-Salatin, bab II, fasal 13. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia: Kuala Lumpur.

Pemesanan melalui link berikut: http://s.id/bukukli

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *