Sejarah

Pentingnya Kekuatan Muslim di Asia Bagi Perubahan Konstelasi Politik Dunia

Share the idea

Sebelumnya, KLI telah mempublikasikan 4 bacaan mengenai sejarah muslimin Jawi, dengan beberapa poin pentingnya adalah:

  1. Alih-alih disematkan dengan nama Nusantara dan Melayu, kaum muslimin di Asia Tenggara (yang mencakup berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, dll) lebih layak disematkan dengan nama Jawi.
  2. Penyematan kepada Nusantara tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sebelumnya. Penyematan tersebut adalah bentuk keberhasilan nativisasi, yakni mengecilkan peran Islam pada sebuah bangsa dengan cara membangkitkan budaya atau sejarah keagungan pra-Islam dan secara licik, menggambarkan Islam sebagai sesuatu yang asing dan merusak kebudayaan lama. Gerakan ini dilakukan secara masif terutama pasca Perang Diponegoro oleh para penjajah dan muslim yang terpengaruh ajaran-ajaran selain Islam.
  3. Akibat nasionalisme dan kolonialisme, kaum muslimin Jawi yang mayoritasnya memiliki bahasa, budaya, dan agama yang sama terpecah dalam negara-negara terpisah seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, hingga Thailand.

Lantas, kenapa tulisan-tulisan seputar kaum muslimin Jawi di Asia Tenggara menjadi penting bagi kita?

Rangkaian tulisan tersebut sebenarnya ingin menekankan, bahwa Jawi adalah bagian dari dunia Islam global, Darul Islam internasional tanpa membedakan nation mereka masing-masing. Meski suku kita memang berbeda-beda sebagai bagian dari sunnatullah agar saling mengenal, namun bangsa-bangsa itu dahulu dilebur dalam sebuah mafahim, maqayis, dan qana’at Islam. Pemahaman, perasaan, dan qana’ahnya itu kepada Islam.

Entah dia itu orang Arab atau orang Turki yang dikuasai oleh wangsa ‘Utsmani, atau bangsa Persia, Ber Ber, Andalus, maupun orang-orang India yang memakai Bahasa Urdu, semuanya pernah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi, khususnya bahasa tulis dan persuratan.

Surat dari ulama maupun penguasa di Bogor (atas) dan Brunei (Bawah) kepada Khilafah. Dibahas dalam buku “Siyasah Sulthaniyah” terbitan KLI

Sementara kenyataan kebangsaan mereka sebagai orang Turki, orang Persia, Urdu, maupun Jawi, itu tetap dipertahankan dalam bahasanya. Sehingga, meski mereka memiliki suku masing-masing, namun mereka berhasil menyatukan kebangsaan mereka dengan Islam.

Maka tak heran, banyak muncul istilah-istilah seperti “Islam itu Melayu, Melayu itu Islam” atau “Sunda teh Islam, Islam teh Sunda”. Bahkan ketika ada orang Melayu yang murtad, ia sampai pada tahap tak dianggap lagi sebagai orang Melayu.

Demikian juga Jawi, yang dapat kita anggap sebagai bagian dari dunia Islam global. Istilah Jawi inilah yang dikenal oleh orang-orang Islam di luar negeri kita, sebagai bangsa yang berada dalam naungan Islam tanpa terpengaruh nativisasi maupun kolonisasi Barat.

Adat harus tunduk dan melebur pada Islam. Bukan sebaliknya.

Inilah sejarah mengenai kekuasaan Islam di Asia Tenggara yang hampir tak kita kenal. Yang mana kita tentu lebih akrab dengan sejarah Islam di luar Jawi, sebagaimana sejarah Sultan Muhammad al-Fatih, Salahuddin al-Ayyubi, Thoriq Bin Ziyad, dll.

Sayangnya, pemahaman sejarah kita tentang mereka tidak diimbangi dengan pemahaman sejarah yang baik kepada negeri kita sendiri. Walhasil, kita menjadi minder dengan kemegahan Islam di negeri ini, bahkan kita pun tak mampu menjelaskan negeri kita sendiri dengan baik dibandingkan para orientalis atau Indonesianis yang lebih fasih dalam membicarakan sejarah Indonesia.

Maka, terjadilah sebuah ketimpangan. Orang-orang yang dianggap pakar tentang sejarah negeri kita, justru adalah orang-orang asing. Sementara kita tidak mampu menjelaskan sejarah kita sendiri.

Dari Raffles (kiri) hingga Snouck (kanan). Kurangnya pemahaman kita atas sejarah Islam di negeri sendiri, menyebabkan pemikiran kita mudah disetir oleh agenda orientalis

Padahal, negeri Jawi itu juga memiliki tokoh-tokoh yang luar biasa memiliki sejarah yang wangi dan harum dalam naungan Islam. Walhasil, kita bisa mewarnai historiografi sejarah kita bukan lagi dengan aroma-aroma kapitalisme, imperialisme, maupun nasionalisme.

Kita pun tidak lagi membicarakan ratusan tahun sejarah Indonesia dengan sudut pandang sejarah rempah sebagai modal dagang dan penarik bangsa-bangsa asing yang menjajah dan mengenalkan kapitalisme. Tapi, kita mencoba membaca sejarah dengan apa yang dahulu nenek moyang kita pahami. Apa yang dulu menjadikan mereka mau berislam secara massal sehingga negeri ini menjadi negeri yang paling banyak Islamnya di seluruh dunia diimbangi juga dengan total populasi yang banyak juga.

Istana Dalam Loka, kediaman Sultan Sumbawa (NTB).

Tak hanya di Barat, Islam juga diterapkan hingga ke Timur. Jika di Minang kita akan temukan istilah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, maka di Timur terdapat slogan “adat barenti ko syara’, syara’ barenti ko kitabullah”.

Perlu diingat, pengaruh dari wilayah Asia Tenggara, yang mencakup Tiongkok dan India, adalah pengaruh > 50% populasi dunia. Dari modal populasi yang besar ini, opini umum atas kebutuhan syariat Islam bisa digerakkan dan menciptakan perubahan konstelasi politik dunia menuju cita-cita yang kita dambakan, yakni melanjutkan kehidupan Islam, yang ternyata juga pernah diterapkan di negeri kita.

Kalau kita tak mau tahu sejarah diri kita, maka sejarah kita akan diarahkan oleh orang lain, termasuk kepentingan dan ideologi orang lain. Dan seolah-olah, negeri kita itu identik dengan Hindu dan Buddha.

Luas wilayah dan jumlah penduduk benua Asia adalah terbanyak di dunia. Menurut CNN, per 2023, luasnya sekitar 49,7 juta km2 (30% daratan bumi) dan berpenduduk 4,66 miliar jiwa (59,5% populasi dunia)

Butuh setidaknya 11 tahun bagi Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock untuk meneliti hubungan antara Khilafah ‘Utsmaniyyah dengan kaum muslimin di Asia Tenggara. Hasil penelitian itu kemudian diurai dalam 2 jilid buku arsip Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives” yang jika dibeli, keduanya merogoh kocek hingga $321.06 atau sekitar 4,7 juta rupiah.

Beruntungnya, kita tak perlu membeli semahal itu untuk menikmati isinya. Sebab, KLI telah menerjemahkan arsip-arsip berbahasa Inggris, Turki, adan Arab tersebut dan menerbitkan arsip-arsip pilihannya dalam 2 jilid buku: “Dafatir Sulthaniyah” dan “Siyasah Sulthaniyah”

Klik di sini https://linktr.ee/kli.books

Sumber dan Rekomendasi Bacaan

Nicko Pandawa, Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah ‘Utsmaniyah, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2022)

Nicko Pandawa, Siyasah Sulthaniyah: Aktivitas Politik Muslimin Jawi dan Khilafah ‘Utsmaniyah Menentang Penjajah Eropa, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2022)

Syed Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972)

Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)

Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives, (Leiden: Brill, 2020)

Michael Laffan, “Finding Java: Muslim Nomenclature of Insular Southeast Asia from Srivijaya to Snouck Hurgronje”, ARI Working Paper Series, No. 52 (Nov 2005)

Muhammad Syukri Rosli dan Ahnaf Wali Alias, Tradisi Keilmuan Bahasa Jawi, (Kuala Lumpur: Akademi Jawi Malaysia, 2022)

Philip Bruckmayr, Cambodia’s Muslims and the Malay World: Malay Languange, Jawi Script, and Islamic Factionalism from the 19th Century to the Present, (Leiden: Brill, 2019)

Ibn Bathuthah, Tuhfah an-Nuzhzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ‘Aja’ib al-Asfar, manuskrip koleksi Bibliotheque Nationale de France.

https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230102105557-569-894937/benua-asia-luas-letak-dan-negara-negaranya

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *