Benarkah Agama Menjadi Faktor Penghambat Majunya Peradaban?

Share the idea

Penulis: Muhammad Fatkhurrozi

Apa yang dicapai oleh Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Korea, dan negara maju lainnya dinilai sebagai buah sekulerisme, yakni memisahkan pengaturan negara dari agama. Hasil survey PEW Research melaporkan bahwa “negara-negara relijius” (yang mayoritas diisi oleh negeri muslim), cenderung memiliki GDP per kapita yang rendah. Sebaliknya, “negara-negara sekuler” (yang umumnya diisi oleh negara Barat) menjadi pemimpin dalam perolehan GDP per kapita.

Maka, tak sedikit pihak yang mengambil kesimpulan berdasarkan fakta, bahwa pemisahan agama dari kehidupan justru dapat memicu sebuah lompatan besar, dan memacu perkembangan sains dan teknologi secara masif. Agama dianggap dongeng umat terdahulu, bahkan juga dianggap sebagai senjata dalam rangka tercapainya ambisi kekuasaan dengan mengatasnamakan Tuhan serta melalui ancaman dan harapan mengenai Surga dan Neraka. Keberadaan agama justru menghambat kemajuan itu sendiri, karena menjadi pembatas atas kreativitas yang seharusnya bebas tanpa batas. Benarkah?

Menyamakan antara Islam dengan agama lainnya tentu saja merupakan tindakan gegabah lagi sombong. Paradigma mendasar antara iman dan ilmu adalah bagaikan saudara kembar. Menuntut ilmu adalah wajib untuk semua kaum muslim, yang juga salah satu jalan mengenal Allah. Ahli ilmu adalah pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari syirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sebagai perkara eksklusif yang hanya bisa diakses oleh golongan tertentu dan menjadi rahasia bagi awam.

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian). Hadits ini secara jelas berbicara mengenai teknologi, yang pada masa itu berhubungan dengan teknologi penyerbukan kurma. Hal inilah yang menjadi dasar, bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Maka tak heran, jika kemudian Rasulullah juga mengadopsi teknologi perang dari Bangsa Persia yang diperoleh dari sahabat Salman Al-Farisi.

Ilmuwan Barat, Hunke, menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma yang dimiliki umat Islam tersebut begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Dulu, peran negara Islam (Khilafah) memang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih baik dibanding penguasa muslim saat ini.

Para konglomerat pun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.

Namun penguasaan teknologi oleh kaum muslim tersebut bukanlah atas motivasi menjajah. Motivasi mereka sangatlah sederhana. Sains di tangan Islam akan digunakan untuk melengkapi peran seorang muslim sebagai hamba Allah, serta untuk memerdekakan manusia dari jerat penghambaan selain Allah untuk beribadah hanya pada Allah.

Maka tak heran, jika mayoritas ulama’ Islam merupakan seorang polymath. Mereka adalah sosok yang paham agama sekaligus ahli di bidang teknologi. Kala shalat diwajibkan untuk menghadap Ka’bah, di saat itulah astronomi dipelajari untuk mencari arah kiblat. Mereka pun meyakini bahwa berda’wah dan berjihad mutlak membutuhkan teknologi, karena kaidah “maa laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa waajib” (apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula). Walhasil, antara sains dengan Islam memang tidak ada kontradiksi.

Hal ini tentu sangatlah jauh jika dibandingkan dengan kondisi umat Islam hari ini. Ilmu pengetahuan adalah momok menakutkan yang harus dihindari karena sulit dimengerti. Agama adalah sesuatu yang harus dijauhi karena menghilangkan berbagai kesenangan duniawi.

Maka, jika hari ini umat Islam berandai-andai akan bangkit kembali, percayalah bahwa semua itu hanya mimpi tanpa diiringi kebangkitan teknologi. Hal ini bukan berarti mendiskreditkan agama sebagai ajaran ilahi. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keduanya haruslah dikuasai tanpa memisahkan satu dengan yang lain.

Bagi budaya Barat yang berorientasi pada capaian materi, kualitas suatu bangsa memang biasa diukur dari produk peradabannya (iptek, kesenian, arsitektur, dll). Namun dalam konteks Islam, yang menjadi tolak ukur adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar (QS Ali Imran: 110). Produk peradaban sesungguhnya hanyalah alat semata. Motivasi amar ma’ruf nahi munkar-lah yang pernah membawa umat Islam untuk menciptakan peradaban yang maju.

Sebagai contoh, jihad membebaskan manusia dari pemikiran kufur adalah tugas mulia Nabi yang kemudian diwariskan pada umatnya. Pengorganisasian aktivitas tersebut by default ada di pundak Negara (Daulah Islam). Persatuan dunia Islam tersebutlah yang kemudian memacu perkembangan teknologi dan sains secara masif dalam semangat amar ma’ruf nahi munkar. Bila kini kita temui kondisi kaum muslim yang tertinggal di segala bidang, utamanya sains dan teknologi, hal itu adalah akibat tidak langsung dari ketiadaan Khilafah sebagai satu-satunya model negara pengemban ideologi Islam.

Sains dan Islam dulu berhasil diintegrasikan tanpa dipertentangkan. Kaum muslim dulu sibuk dengan urusan agama, dan di saat yang sama juga sibuk berlomba memajukan teknologi dan sains. Ini berbeda dengan paradigma Barat, dimana sains tidak boleh disentuh agama, pun juga sebaliknya.

Maka, berhentilah menganggap bahwa teknologi adalah musuh alami, atau suatu bid’ah yang tak ada pada zaman Nabi. Yang lebih miris lagi, jika secara sporadis ia dihubungkan dengan berbagai teori konspirasi, kemudian mengaku ahli dengan hanya bermodal mengutip sana-sini.

Kaum muslim dengan latar belakang pendidikan tinggi, sudah selayaknya mengambil peran sebagai ahli. Hingga ketika Khilafah tegak nanti, merekalah yang memegang kemudi dan memberi rekomendasi teknis terhadap berbagai public policy dalam rangka membangun peradaban Islami. Negara adidaya bukanlah sebuah mimpi, kala ilmu agama berpadu dengan sains dan teknologi. []

“Dengan kisah-kisah ini (sejarah kejayaan Islam) kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu. Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia? Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia. Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka. Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam.”

Prof. Dr. –Ing. Fahmi Amhar dalam bukunya, “TSQ Stories : Kisah-Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam”

Sumber:

Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira: Jakarta.

Prof. Dr. –Ing. H. Fahmi Amhar. 2011. TSQ Stories: 50 Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam. Al-Azhar Press: Bogor.

Prof. Dr. Raghib As-Sirjani. 2017. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

Americans are in the middle of the pack globally when it comes to importance of religion

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *