Benarkah Demokrasi Bekerja untuk Kepentingan Rakyat?
Narasumber: Ibrahim Salim S.IP, M.Hub.Int
TELAAH KRITIS TEORI DEMOKRASI
Demokrasi liberal (sebagai konsep demokrasi yang paling banyak digunakan) memiliki mantra utama berupa kedaulatan rakyat. Secara akademis, maksudnya adalah public opinion dan public policy. Dalam buku John Zaller yang berjudul, “Nature and Origins of Mass Opinion” (1992), disebutkan bahwa yang selama ini terjadi dalam demokrasi justru adalah “elite-led opinion”, yaitu opini publik yang hanya dipengaruhi dan dikendalikan oleh para elit, bukan oleh publik (masyarakat umum).
Masalah kemudian berlanjut. Jika kedaulatan memang benar di tangan rakyat, apakah publik ini adalah orang-orang yang “melek politik”? Jika tidak, bagaimana mungkin publik yang awam ini justru diserahkan amanah untuk membuat kebijakan?
Dalam studi public opinion, tingkat kepedulian masyarakat tentang politik dibagi menjadi dua, yaitu “low aware” (yang tidak peduli dengan politik) dan “high aware” (yang teredukasi dan sangat mengetahui dunia politik). Namun, apakah orang-orang yang “high aware” itu semakin cerdas dan semakin objektif dalam membuat keputusan? Ternyata tidak.
Semakin terdidik seseorang, ia sebenarnya telah memiliki “predispositions” (kecenderungan) dan “preexisting beliefs” (keyakinan-keyakinan yang sudah melekat sebelumnya). Keduanya berfungsi sebagai filter. Informasi sehebat apapun, akan disaring terlebih dahulu oleh keyakinan kita sebelumnya. Contohnya adalah kecenderungan kita pada partai, agama, wilayah, maupun profesi tertentu.
Sebagai filter, jika informasi itu cocok dengan keyakinan kita sebelumnya, maka akan diterima. Jika tidak? Dibuang. Dan ternyata, orang-orang dengan “high aware” justru bukan semakin cerdas dan semakin objektif, namun semakin subjektif dan lebih banyak menyaring informasi, karena sebelumnya telah memiliki “beliefs”. Sebaliknya, pada masyarakat awam yang kesadaran politiknya rendah dan kecenderungannya lemah, ia tidak banyak menyaring informasi dan lebih mudah diombang-ambing oleh arus. Maka, kecenderungan masyarakat itu lebih mudah berubah.
High aware à strong predisposition
Low aware à weak predisposition
Masalahnya, asas kedaulatan rakyat membuat kita selama ini menganggap bahwa dalam demokrasi, para elit harus mengikuti keinginan publik. Padahal fakta yang terjadi justru sebaliknya. Elit lah yang menyetir opini dan keinginan publik. Kenapa? Karena publik itu low awareness, sedangkan elit itu high awareness.
Walhasil, kita selama ini salah kaprah dan menganggap berbagai kebijakan pemerintah itu hasil opini (keinginan) publik. Faktanya, itu hanyalah opini (keinginan) elit yang telah diatur sedemikian rupa oleh pihak politik tertentu.
Jika memang demikian, bukankah cukup memberikan edukasi politik kepada publik? Meski pendidikan politik senantiasa ada di setiap jenjang pendidikan dengan levelnya masing-masing, namun fenomena yang terjadi di lapangan tidaklah sederhana. Sebagai kalangan awam yang sedikit tahu, maka publik akan mencari rujukan (referensi) politik. Kepada siapa? Tentu kepada orang yang ia percaya. Dalam konteks politik, pihak-pihak yang menjadi referensi adalah partai politik atau kubu politik tertentu. Walhasil, dalam menentukan public opinion, publik tidak akan pernah bisa objektif.
Maka, opini publik sejatinya tidak pernah menjadi penentu dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Kedaulatan berada di tangan rakyat hanya mitos belaka. Yang sebenarnya terjadi adalah “elite-led opinion”.
Lantas, apakah opini publik bisa mempengaruhi opini elit? Sayangnya, kita harus menerima kenyataan bahwa hal ini hanya terjadi di masa kampanye, yaitu ketika elit akan memperhatikan opini publik dan membuat janji-janji demi mendapat simpati masyarakat.
TELAAH KIRITIS FUNDAMEN DEMOKRASI
Menurut Encyclopedia Britannica, istilah demokrasi bahkan sudah dikenal sebelum Plato mengungkapkannya pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Republic” di sekitar tahun 360 SM. Menariknya, Plato yang disebut-sebut sebagai bapak demokrasi ini dalam bukunya justru menyatakan bahwa demokrasi merupakan “imperfect societies” (masyarakat yang tidak sempurna).
Plato membagi masyarakat menjadi dua, yaitu “perfect societies” dam “imperfect societies”. Contoh dari “imperfect societies” adalah demokrasi, aristokrasi, oligarki, dan tirani.
Kenapa demokrasi masuk dalam kategori ini? Karena demokrasi, cepat atau lambat akan menimbulkan kerusakan.
Menurut Plato, ada 2 permasalahan mendasar dalam demokrasi. Pertama, masyarakat awam yang tidak terlalu paham dan peduli tentang politik. Sederhananya, bagaimana mungkin arah sebuah negara ditentukan oleh masyarakat yang sejak awal awam, tidak peduli, bahkan tidak paham politik?
Kondisi ini hanya akan menghasilkan demagog, yaitu orang-orang yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan dan mengendalikan opini publik. Jika benar demikian, lantas siapa yang sesungguhnya berdaulat? Tentu saja bukan publik, tapi demagog. Dalam konteks hari ini, kita dapat menemukan demagog dalam tubuh media, partai politik, aktivis, penguasa, atau elit politik tertentu.
Kedua, masyarakat demokrasi bersifat virtueless: tidak ada nilai-nilai sakral yang dianggap penting. Sederhananya, tidak ada standar halal dan haram. Tidak ada sesuatu yang dianggap baik, dan tidak ada sesuatu yang dianggap buruk. Tidak ada standar. Jika masyarakatnya adalah masyarakat yang baik, maka akan menghasilkan public opinion dan kebijakan yang juga baik. Namun, bagaimana jika sebaliknya?
Maka, opini publik sejatinya tidak pernah menjadi penentu dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Kedaulatan berada di tangan rakyat hanya mitos belaka. Yang sebenarnya terjadi adalah “elite-led opinion”.
Lantas, apakah opini publik bisa mempengaruhi opini elit? Sayangnya, kita harus menerima kenyataan bahwa hal ini hanya terjadi di masa kampanye, yaitu ketika elit akan memperhatikan opini publik dan membuat janji-janji demi mendapat simpati masyarakat.
TELAAH KIRITIS FUNDAMEN DEMOKRASI
Menurut Encyclopedia Britannica, istilah demokrasi bahkan sudah dikenal sebelum Plato mengungkapkannya pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Republic” di sekitar tahun 360 SM. Menariknya, Plato yang disebut-sebut sebagai bapak demokrasi ini dalam bukunya justru menyatakan bahwa demokrasi merupakan “imperfect societies” (masyarakat yang tidak sempurna).
Plato membagi masyarakat menjadi dua, yaitu “perfect societies” dam “imperfect societies”. Contoh dari “imperfect societies” adalah demokrasi, aristokrasi, oligarki, dan tirani.
Kenapa demokrasi masuk dalam kategori ini? Karena demokrasi, cepat atau lambat akan menimbulkan kerusakan.
Menurut Plato, ada 2 permasalahan mendasar dalam demokrasi. Pertama, masyarakat awam yang tidak terlalu paham dan peduli tentang politik. Sederhananya, bagaimana mungkin arah sebuah negara ditentukan oleh masyarakat yang sejak awal awam, tidak peduli, bahkan tidak paham politik?
Kondisi ini hanya akan menghasilkan demagog, yaitu orang-orang yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan dan mengendalikan opini publik. Jika benar demikian, lantas siapa yang sesungguhnya berdaulat? Tentu saja bukan publik, tapi demagog. Dalam konteks hari ini, kita dapat menemukan demagog dalam tubuh media, partai politik, aktivis, penguasa, atau elit politik tertentu.
Kedua, masyarakat demokrasi bersifat virtueless: tidak ada nilai-nilai sakral yang dianggap penting. Sederhananya, tidak ada standar halal dan haram. Tidak ada sesuatu yang dianggap baik, dan tidak ada sesuatu yang dianggap buruk. Tidak ada standar. Jika masyarakatnya adalah masyarakat yang baik, maka akan menghasilkan public opinion dan kebijakan yang juga baik. Namun, bagaimana jika sebaliknya?
Menurut Plato, dua hal inilah yang menjadikan demokrasi, cepat atau lambat akan menimbulkan kerusakan. Pada akhirnya, demokrasi akan berujung pada oligarki dan tirani.
Lantas, bagaimana perfect societies menurut plato? Plato berpendapat, bahwa sistem yang baik tetap membutuhkan negara. Namun, nilai yang harus dicapai negara bukanlah kebebasan maupun kesejahteraan, melainkan keadilan.
Namun, siapa yang berhak mendefinisikan keadilan? Jika berdasarkan manusia, tentu akan sangat relatif. Adil menurut penguasa, bisa jadi tidak adil menurut rakyat.
Maka, keadilan ideal tidak bisa didefinisikan oleh negara maupun satu pihak. Keadilan ini haruslah hasil perenungan mendalam yang menghasilkan “ilham/wahyu” (product of knowledge). Secara tidak langsung, Plato menganggap bahwa keadilan hanya bisa didefinisikan oleh Tuhan.
Karenanya, menurut Plato, seorang pemimpin negara seharusnya adalah seorang filsuf yang merenungkan secara cemerlang mengenai definisi keadilan. Bukan berdasarkan hawa nafsu maupun kepentingannya pribadi.
Bagaimana Plato memandang masyarakat? Mari kita jelaskan dengan bahasa sederhana.
Pertama, tidak semua harus disampaikan kepada publik atas dasar kebebasan. Cencorship atas kepentingan edukasi itu perlu.
Kedua, mendorong masyarakat untuk menuntut ilmu, terutama tentang moralitas/adab dan filsafat. Seorang pemimpin haruslah seorang pemikir (dalam Islam, mujtahid bahkan menjadi syarat tambahan yang dikuatkan – karena dia harus melakukan ijtihad untuk menentukan keadilan).
Ketiga, kepemilikan individu itu boleh. Supaya adil, pemimpin tidak boleh mencari pekerjaan lain, ia cukup digaji saja, disupport kebutuhan pokoknya oleh masyarakat. Tidak perlu berbisnis maupun membuat kebijakan untuk kepentingannya maupun golongannya.
Keempat, pentingnya peran perempuan sebagai manajer rumah tangga (dalam Islam dikenal dengan istilah ummun wa rabbatul bait) dan anak-anak sebagai generasi penerus.
Meski begitu, mengapa demokrasi masih diterapkan bahkan diagung-agungkan sebagai sistem terbaik? Karena demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling ringan dibandingkan yang lain. Tidak perlu menjadi pintar, tidak perlu menjadi filsuf, tidak perlu menjadi sejahtera pun bisa menerapkan demokrasi. Bahkan, penjahat sekalipun bisa menerapkan demokrasi. Sedangkan sistem yang lain, kriteria minimum agar bisa diterapkan sangatlah tinggi, misalnya dibutuhkan edukasi publik yang besar.
Masalahnya, hal ini dilanjutkan dengan anggapan bahwa demokrasi adalah sistem yang paling sempurna. Padahal, demokrasi sejatinya adalah sistem yang paling tidak canggih.
Kita harus sadar, bahwa realitas politik saat ini menunjukkan bahwa kita tidak hidup dalam sistem yang ideal. Dan sebagai intelektual muslim, tentu kita harus semakin gencar menghasilkan kajian-kajian yang bisa meng-counter literatur tentang demokrasi dan sistem lain yang bertentangan dengan Islam, sembari memunculkan ide Islam itu sendiri. Karena Islam, sesungguhnya adalah ideologi yang paling cocok untuk manusia.[]
Sumber:
Tulisan diolah berdasarkan korespondensi tim Komunitas Literasi Islam dengan Ibrahim Salim S.IP, M.Hub.Int (Pakar Ilmu Politik dan Hubungan Internasional) dalam acara NGOBIM #12 (Ngabuburit Online Bareng Intelektual Muslim) tertanggal 4 Mei 2020 yang berjudul, “Mitos Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi”.
Video lengkap berdurasi 55 menit 11 detik tersebut dapat dinikmati di channel youtube KLI: Komunitas Literasi Islam.