Osama bin Laden: Perjuangan Melawan Imperialisme Barat
Mendengar nama Osama bin Laden, tentu kita selalu teringat kejadian 19 tahun silam. Bahkan di saluran TV manapun, berita terbakarnya gedung kembar WTC di jantung kota New York Amerika Serikat menjadi berita yang disorot berulang kali. Ya, gedung yang kokoh itu runtuh, dan muasalnya adalah dua buah pesawat yang dibajak menabrak kedua sisi gedung tersebut.
Jujur, perasaan penulis waktu itu adalah gembira, karena dapat menyaksikan simbol kedigdayaan Amerika yang runtuh secara langsung bukan dari tayangan film. Mungkin banyak kaum muslimin yang mengutuk kejadian tersebut. Tapi melihat kepongahan Amerika beberapa bulan kemudian di Iraq dan Afganistan serta pembelaannya kepada Israel, Amerika memang layak untuk dikecam dan tidak layak dikasihani.
Sejak saat itu, nama Osama meroket dan dianggap pahlawan oleh banyak orang. Bahkan banyak orang tua yang memberi nama anaknya dengan nama Osama. Posternya banyak dipajang di rumah-rumah. Tidak sedikit juga yang mengabadikan wajahnya di kaos dan jaket bergaya muda. Euforia ini dapat dipahami, sebagai bentuk perlawanan umat Islam atas ketidakadilan global.
Amerika yang digadang-gadang sebagai kampiun demokrasi justru sering melakukan tindakan yang tidak demokratis di seluruh dunia. FIS dan HAMAS yang menjadi pemenang pemilu secara demokratis mereka tumbangkan hanya karena alasan ideologi. Parlemen dibubarkan dan hasil pemilu dibatalkan. Ribuan anggota FIS tanpa kesalahan apapun ditangkap, dipenjara, bahkan dibunuh. FIS yang sebelumnya telah menyiapkan konstitusi baru yang berdasarkan Islam kemudian menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya dipenjara.
Di sisi lain Amerika melindungi Mubarrak, Karimov, Pinochet, Soeharto, dan ratusan pemimpin tiran lainnya karena hanya merekalah yang mau memperbudak diri di hadapan Amerika. Amerika juga secara membabi-buta membela Israel yang telah jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM tingkat berat. Itu semua ditambah kelakuan Amerika yang doyan menginvasi negeri lain tanpa sebab yang jelas. Vietnam, Nikaragua, Panama, Granada, Iraq, Afganistan, Korea adalah contoh nyata kebiadaban Amerika yang seenaknya meluluh-lantakkan negeri mereka.
Amerika yang juga menahbiskan dirinya sebagai polisi dunia ini pun dengan seenaknya menjadikan siapapun yang tidak sejalan dengannya sebagai lawan. AS juga secara tidak langsung menempatkan Islam sebagai penjahat yang layak dijadikan target berikutnya untuk diperangi setelah runtuhnya komunisme. Wajarlah jika sosok seperti Osama bin Laden kemudian dipahlawankan dan sepak terjangnya dikagumi oleh banyak pemuda Islam, sebagaimana dulu pemuda sosialis mengagumi sosok Che Guevara.
Maka ketika mendengar kematiannya, penulis hanya berucap Innalillaahi Wa Inna Ilaihi Rooji’uun. Kematian Osama hanyalah takdir Allah. Mati itu cuma sekali, ucapnya. Maka, matilah dalam keadaan jihad.
Ya, mati hanya sekali. Tapi bagaimana keadaan ketika kita mati, apakah dalam keadaan kafir, munafik, sedang bermaksiat, sedang khusyuk beribadah, atau sedang memperjuangkan tegaknya agama Allah dan sedang berjihad di jalan-Nya, itu semua adalah pilihan.
Osama bin Laden adalah satu di antara milyaran muslim yang lahir pada abad ketika Islam telah dikalahkan sejak runtuhnya Daulah Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924. Osama juga menjadi bagian kecil generasi muslim yang sadar bahwa saat ini kaum muslimin terpecah lebih dari 50 negara yang lemah dan terjajah.
Momen pendudukan Uni Soviet semakin mempengaruhi pikirannya. Soal baginya adalah Islam dan kaum muslimin terpuruk, maka jawabannya adalah mengusir penjajah, membuang semua ide busuknya, dan kembali kepada Islam. Jawaban yang relatif sama, yang berbeda adalah cara menjawabnya. Ada yang berjuang melalui pemikiran seperti halnya Sayyid Qutb dan Abu Ala Al Maududi, ada yang dengan gerakan politik non parlemen seperti halnya Taqiyuddin An-Nabhani dan Hizbut Tahrirnya, ada yang menghalalkan parlemen seperti halnya Hasan Turabi dan Yusuf Qardhawi serta beberapa partai Islam di negeri-negeri muslim, ada juga yang melalui bidang ilmiah dan keilmuan seperti Ismail Raji Faruqi dan Naquib Al Attas, namun ada juga yang melakukan perlawanan bersenjata seperti Osama bin Laden dan Al Qaidahnya.
Persoalan yang mereka hadapi dan jawaban mereka secara umum adalah sama. Dan fakta dunia hari ini, justru semakin memperkuat ide-ide mereka. Tentu Amerika dan sekutunya telah alpa bahwa ide tidak akan pernah mati walau kepala tertembus peluru atau terpisah dari tubuh. Mereka boleh saja bertepuk dada dan dengan congkak mengabarkan kepada dunia bahwa Qutb, Maududi, Nabhani, Faruqi, Azzam, atau Osama telah meninggalkan bumi. Tapi mereka lupa bahwa pejuang Islam tidak pernah mati.
Mungkin saja para pionirnya telah meninggal, tapi generasi berikutnya akan datang dengan semangat, kecerdasan, dan keistiqomahan yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Maka tidak lama lagi Amerika akan bergidik ngeri menyaksikan peradaban mereka runtuh dan di depan mereka tersaji anak-anak muslim yang maju menerjang sambil berteriak “kulluna Sayyid Qutb…kulluna An-Nabhani…kulluna Al Faruqi…kulluna bin Laden.” Wallahu’alam.[]
Sumber:
Farid Wadjdi. 2010. Menantang Amerika: Menyingkap Imperialisme Amerika di Bawah Obama. Al Azhar Press. Bogor.
Ismail Yusanto, 2017. Khilafah Jalan Menuju Kaffah. Penerbit Irtikaz. Jogjakarta.
Ismail Yusanto, 2017. Perjuangan Dengan Dakwah Islam. Penerbit Irtikaz. Jogjakarta.