Sejarah

Bagaimana Gereja Dan Masyarakat Eropa Memandang Perempuan Di Abad Pertengahan?

Share the idea

Mary Ward (1585-1645), perempuan Inggris yang mendirikan ordo para suster “The Institute of the Blessed Virgin Mary”, hanya bisa tersenyum ketika seorang Pastor berkata padanya. Bahwa, ia takkan pernah ingin menjadi perempuan, karena perempuan tak dapat menghormati dan taat pada Allah secara benar.[1] Pernyataan provokatif ini tentu sangatlah menarik, terutama ketika kita menyelami pandangan masyarakat Eropa atas perempuan di abad pertengahan.

Eropa abad pertengahan adalah dunia yang penuh kontradiksi atas penempatan posisi dan peran perempuan dalam aktivitas mereka di masyarakat. Di masa itu juga, feodalisme membelah masyarakat Eropa menjadi dua kelas besar, yakni kelas penguasa atau tuan tanah yang bersifat eksklusif dan membatasi hubungannya dengan kelas sosial yang lebih rendah, yakni kelas pekerja.[2]

Di saat yang sama, gereja yang berhubungan dekat dengan para tuan tanah dan bangsawan, memiliki pandangan yang unik terhadap perempuan. Perempuan yang memiliki citra baik adalah para bangsawan dan perempuan yang tidak menikah (berselibat). Sedangkan perempuan di luar ini justru lebih banyak dihubungkan dengan kekuatan kegelapan,[1] termasuk sebagai sumber dosa, pelanggaran, dan hukuman – sebagaimana yang terjadi dalam kisah Adam dan Hawa (Eve).[3] 

Teolog abad pertengahan kebanyakan berpandangan sama dengan bapak-bapak gereja tentang perempuan. Santo Thomas Aquinas misalnya, mengatakan dalam Summa Theologica bahwa perempuan adalah manusia cacat yang diciptakan dari infeorioritas laki-laki. Karenanya, perempuan dikaruniai kemampuan intelektual yang lebih rendah, sehingga tidak dapat membuat keputusan-keputusan moral dengan benar.

Uniknya, sikap sebaliknya ditujukan pada perempuan seperti Bunda Maria, ibu Yesus. Dalam hal ini, Aquinas bersikap lebih positif pada perempuan, yakni manusia yang bertugas menghasilkan keturunan – meski posisinya inferior.

Dengan berkembangnya opini umum yang demikian itu, tak heran jika sepanjang abad ke-4 hingga abad pertengahan, biara-biara bertumbuh secara luar biasa. Berselibat tak hanya menjadi cara untuk mempertahankan harkat dan martabat hidup perempuan saat itu, namun juga dipandang sebagai simbol khusus kesatuan Kristus dengan gereja. Adapun perempuan selain bangsawan dan para aktivis agama, sebagaimana perempuan pada umumnya di masa itu, berada di rumah dan di bawah pengawasan ayah atau suami mereka.[1]

Yang menjadi semakin menarik adalah, ketika kita menyelami kondisi perempuan Eropa sepanjang abad ke-13 hingga akhir abad 15, yakni ketika kepercayaan tentang kekuatan sihir semakin populer.[1] Jutaan perempuan dituduh sebagai penyihir dan diklaim menjadi korban atas kegiatan berburu penyihir (Witch-Hunt).[4]

Di masa itu, pendapat ini menjadi wajar, mengingat banyaknya sentimen negatif atas perempuan sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya. Dengan mentalmaupun emosi yang dirasa tidak stabil, serta pengaitannya sebagai makhluk yang penuh hawa nafsu sekaligus sumber dosa, perempuan dianggap lebih rentan terkena pengaruh setan.

Puncaknya adalah terbitnya buku Malleus Maleficarum (The Hammer of Witches), yakni buku manual berburu penyihir yang ditulis dua biarawan Jerman, Heinrich Kramer dan Jacob Sprenger dan diterbitkan pada 1486-1487. Seiring semakin populernya mesin cetak Gutenberg, publikasi karya ini terjadi secara masif di penjuru Eropa.[8]

Meski bukan satu-satunya publikasi yang berhubungan dengan dunia sihir, namun buku ini adalah rujukan utama dalam mengidentifikasi dan menghukum penyihir – yang sayangnya, cenderung didasarkan atas sentimen negatif pada perempuan.

Dalam bahasa yang lebih kasar, bahkan disebutkan bahwa “women’s lust leads them to copulate with the devil”. Mereka pun dianggap tidak memiliki kemampuan lain selain sihiruntuk melampiaskan berbagai dendam maupun ambisi mereka. Tanpa metode pembuktian yang logis, sebagian besar terdakwa dihukum mati dengan cara dibakar.[5]

Besarnya korban atas sentimen ini sebenarnya adalah efek domino atas gelombang wabah maupun bencana yang terus menerus menimpa Eropa di abad pertengahan, terutama pasca munculnya wabah Maut Hitam (Black Death) yang dimulai pada 1346 hingga akhirnya berhasil menggerus setidaknya sepertiga populasi Eropa.

Bencana ini tak hanya mengurangi sebagian besar tenaga kerja, tapi juga memicu perubahan lingkungan, cuaca yang tak terduga, ketidakstabilan hasil panen, kelangkaan dan melambungnya harga pangan, yang tentu saja, berujung kepada kelaparan massal. Black Death bahkan juga dikaitkan sebagai salah satu penyebab melemahnya Konstantinopel yang berujung pada penaklukannya seabad kemudian.[6] Satu hal yang sebenarnya cukup aneh, karena bagaimana mungkin dampak bencana itu berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun?

Nyatanya, itulah yang terjadi. Ilmu pengetahuan masyarakat Eropa yang belum berkembang menjadikan mereka juga mengaitkan musibah dan kematian yang datang sambung-menyambung dengan ilmu sihir. Kucing, yang sering dikaitkan sebagai peliharaan tukang sihir, dibunuh secara masif yang ternyata, justru meningkatkan populasi tikus dan kutu-tikus yang menjadi transmiter besar atas wabah ini.[7] Uniknya, sentimen yang memuncak akibat menumpuknya kepanikan, emosi, dan tekanan sosial terjadi tak hanya setahun-dua tahun, melainkan berabad-abad.

Lamanya periode itu sekaligus menunjukkan, bahwa seluruh pihak, termasuk para penguasa maupun gereja, terlibat aktif dan bertanggung jawab atas fenomena itu.

Kumpulan peristiwa yang jelas tak biasa dan terjadi hingga lintas generasi ini, semakin menambah pandangan baru dan detail atas gelombang masalah sosial yang melatarbelakangi populernya sekularisme di Eropa: ideologi yang membuat masyarakat Eropa maju karena membuang agamanya, namun justru membuat umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya.[]

Sumber:

[1] Mariani Febrian. (2002). Perempuan dalam Lintasan Sejarah Kristen: “Ini Aku Tuhan, Utuslah Aku.”. Jurnal Theologia Aletheia, 4 (7): 47-61.

[2] Elfira Maria Susana Kambali. 2017. Peran perempuan dalam gerakan reformasi gereja abad ke-16. Skripsi. Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

[3] Asnath Niwa Natar. 2020. Perempuan: Sumber Dosa atau Sumber Hikmat? Tafsir Ulang Kejadian 2:1-24 dari Perspektif Feminis. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 4 (2): 175-185.

[4] Weavers/SPATS. 2006. The Church and Violence against Women.

[5] Hans Peter Broedel. 2003. The Malleus Maleficarum and the construction of witchcraft: Theology and popular belief. Manchester University Press: Manchester.

[6] https://www.cambridge.org/core/books/natural-disasters-in-the-ottoman-empire/black-death-and-the-rise-of-the-ottomans/D83E412C0BB3C092E79683722AFFFC33

[7] https://longlivethekitty.com/cats-blamed-for-black-plague/

[8] https://www.thoughtco.com/malleus-maleficarum-witch-document-3530785

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *