Sejarah

Sejak Kapan Negeri Ini Diidentikkan dengan Peradaban Hindu-Buddha dan Nusantara?

Share the idea

Momen perubahan penyematan identitas kita dari Islam menuju selain Islam, adalah Perang Diponegoro (1825-1830 M). Khususnya lima tahun awal pasca perang yang dampak sosialnya sangat dahsyat. Sebab, perang semesta ini ternyata menewaskan sekitar 200.000 hingga 500.000 rakyat Jawa.

Di masa-masa itu, banyak yang mencaci-maki Pangeran Diponegoro. Sebab, kekalahan beliau dianggap menambah penderitaan rakyat Jawa. “Kenapa tidak menggunakan cara damai dan diplomatis saja? Kenapa harus perang yang hanya menambah kesulitan hidup, meninggalkan anak-istri-dan keluarga?”

Selain banyak dari mereka yang kehilangan sanak keluarga akibat perang, banyak dari mereka yang dasar hidupnya memang sudah susah. Hal ini menyebabkan penurunan semangat hidup yang demikian drastis di kalangan masyakat Jawa.

Di sisi lain, pihak penjajah Belanda yang juga menderita kerugian besar, tak menghendaki terulangnya perang dengan skala sejenis di kemudian hari. Pasca 1830, tepatnya pada 1832, mereka membentuk institusi yang khusus mempelajari javanologi, yakni ilmu yang berkaitan soal kejawaan.

Walhasil, pemain strategis penjajahan bukan lagi orang-orang militer, tapi ilmuwan. Mulai dari para sosiolog hingga naturalis dari Belanda dan Eropa, ramai-ramai mempelajari javanologi. Mereka bersemangat mempelajarinya dan mulai membuka naskah-naskah lama. Tapi anehnya, mereka lebih cenderung membuka naskah-naskah lama pra Islam.

Misalnya ketika pasukan Inggris menjarah Keraton Kesultanan Yogyakarta, mereka banyak sekali mendapat rampasan perang berupa perhiasan, harta, termasuk naskah dan pustaka-pustaka Keraton. Apa yang mereka ambil, mengutip dari ungkapan Raffles, adalah “budaya Jawa yang adiluhung”. Uniknya, manuskrip-manuskrip kuno bertuliskan Arab dari Keraton, justru tidak dijarah oleh orang-orang Inggris dan tentu juga tidak dibawa ke London. Kenapa? Karena Al-Qur’an tidak mereka anggap mampu mencerminkan budaya Jawa.

Kepala Buddha Borobudur yang dicuri Raffles di British Museum. Adapun Belanda, mulai mengembalikan banyak harta karun Jawa ke Indonesia

Walhasil, apa yang dipelajari orang-orang Inggris di British Royal Society, adalah naskah-naskah Jawa yang masih beraroma Hindu-Buddha. Misalnya, buku “The History Of Java” nya Raffles. Dari 800 halaman bukunya, hanya sekitar 13 halaman yang spesifik membahas Islam. Sementara sisanya, justru membahas dengan sangat rinci mengenai sejarah jawa seperti candi-candi masa Hindu Budha, patung-patung Dewa Siwa, Wisnu, dan seterusnya.

Artinya, sejak awal para penjajah memang tidak menitikberatkan sejarah daerah jajahannya itu kepada Islam. Sebab, mereka tentu juga khawatir. Ketika mereka banyak membahas Islam, maka hal ini dapat memicu kebangkitan kaum muslimin yang menjadi mayoritas di negeri ini. Bahwa sejarahnya mereka itu, ternyata sangatlah kental dengan Islam.

Lukisan Raffles dengan latar belakang artefak Buddha. Bukunya yang tebal, “The History of Java”, hanya sedikit membahas Islam yang justru menjadi mayoritas

Meski banyak juga orientalis yang membahas Islam, namun pengkajian sejarah Islam di Jawa itu memang cenderung dikonotasikan dengan sinkretisme. Bahwa Islam, harus tunduk dengan budaya Jawa. Hal inilah yang ingin ditampilkan oleh para orientalis yang mempelajari javanologi pasca 1830. Momen krusial ini semakin diperparah karena bertepatan dengan Pangeran Diponegoro yang sudah dibuang ke Manado dan Makassar, sehingga berbagai publikasi para orientalis bisa dengan mudah menyebar di kalangan ningrat Keraton. Bahkan tak hanya Hindu Buddha, tapi juga Kristen. Walhasil, banyak sekali orang-orang Keraton yang memilih murtad. Ada juga yang tak sampai murtad, tapi sering menjelek-jelekkan Islam, memunculkan sejarah palsu, dan menista ajaran Islam dengan ajaran-ajaran cabul: seperti Serat Gatholoco, Darmogandul, Sabda Palon, dan Babad Kediri.

Bahkan dalam Babad Kediri, mereka juga meramalkan sejarah Jawa akan dibangkitkan oleh Hindu Buddha. Mereka pun menyalahkan Demak yang meruntuhkan peradaban Jawa di bawah Majapahit. Makanya dalam babad-babad tersebut, ada penyesalan atas keruntuhan Majapahit yang ditimpakan pada Demak, bahkan menganggap Raden Patah sebagai anak durhaka yang menyerang bapaknya.

Hal-hal seperti inilah yang pada akhirnya banyak menyisakan keragu-raguan bagi orang-orang Islam di negeri ini sehingga muncullah istilah-istilah kaum abangan, yang mana kaum abangan bahkan sampai memasukkan ideologi-ideologi selain Islam (seperti komunisme) atau yang lainnya. Inilah hasil dari pendidikan dan penelitian Barat yang mencoba untuk menggali lebih dalam identitas asli orang-orang Jawa, dan menyimpulkan bahwa identitas mereka adalah Hindu. Padahal, Hindu saja berasal India dan bukan agama orisinil penduduk Jawa.

Tjokroadikoesoemo bersama guru Belandanya, A.A. Fokker. Dalam buku “Dafatir Sulthaniyah”, gambar tersebut digunakan sebagai visualisasi surat Sultan Alauddin Mansur Syah dari Aceh (k. 1838-1870 M) kepada Khalifah Abdul Majid I (k. 1839-1861 M).

Sebab, salah satu kekhawatiran Sultan Mansur Syah adalah, ketika anak-anak kaum muslimin diajari tsaqofah Barat oleh Belanda

Usaha nativisasi, yakni gerakan untuk mengecilkan peran Islam pada sebuah bangsa dengan cara membangkitkan budaya atau sejarah keagungan pra-Islam dan secara licik, menggambarkan Islam sebagai sesuatu yang asing dan merusak kebudayaan lama, ternyata juga menjadi fenomena global. Di Mesir misalnya, kemegahan peradaban Islam di sana tertutupi oleh sejarah Fir’aun yang diagung-agungkan. Irak dengan Mesopotamianya pun mengalami hal yang sama. Seolah mereka lupa dengan para sahabat Nabi yang berhasil memfutuhat Ctesiphon.

Pengagungan peradaban Mesir pra-Islam dalam perhelatan Pharaohs’ Golden Parade.

Presiden As-Sisi memindahkan mumi-mumi dari dari Egyptian Museum ke National Museum of Egyptian Civilization dengan perayaan yang luar biasa. Setiap yang menyaksikan seolah akan dibawa kembali ke masa Fir’aun.

Setelah menghadapi kaum muslimin dan merasakan langsung bagaimana dahsyatnya seruan jihad seantero Jawa (sehingga Perang Jawa diasosiasikan juga sebagai perang semesta) mereka akhirnya tak ingin lagi menghadapi kaum muslimin dengan kekuatan, tapi dengan perang pemikiran. Mereka kemudian mengubah strategi perangnya dari militer kepada perang pemikiran.

Napoleon di “Institut d’Égypte”. Institusi ilmiah Prancis yang dibangun hanya sebulan setelah menaklukkan Kairo.

Ketika melakukan invasi ke Mesir, Napoleon memang sengaja membawa serta 167 ilmuwan dari berbagai cabang pengetahuan. Napoleon mencoba menggunakan nativisasi sebagai salah satu strategi melepaskan keterikatan kaum muslimin Mesir dari Islam.

Butuh setidaknya 11 tahun bagi Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock untuk meneliti hubungan antara Khilafah ‘Utsmaniyyah dengan kaum muslimin di Asia Tenggara. Hasil penelitian itu kemudian diurai dalam 2 jilid buku arsip Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives” yang jika dibeli, keduanya merogoh kocek hingga $321.06 atau sekitar 4,7 juta rupiah.

Beruntungnya, kita tak perlu membeli semahal itu untuk menikmati isinya. Sebab, KLI telah menerjemahkan arsip-arsip berbahasa Inggris, Turki, adan Arab tersebut dan menerbitkan arsip-arsip pilihannya dalam 2 jilid buku: “Dafatir Sulthaniyah” dan “Siyasah Sulthaniyah”

Klik di sini https://linktr.ee/kli.books

Sumber dan Rekomendasi Bacaan

Nicko Pandawa, Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah ‘Utsmaniyah, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2022)

Nicko Pandawa, Siyasah Sulthaniyah: Aktivitas Politik Muslimin Jawi dan Khilafah ‘Utsmaniyah Menentang Penjajah Eropa, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, 2022)

Syed Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972)

Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007)

Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives, (Leiden: Brill, 2020)

Michael Laffan, “Finding Java: Muslim Nomenclature of Insular Southeast Asia from Srivijaya to Snouck Hurgronje”, ARI Working Paper Series, No. 52 (Nov 2005)

Muhammad Syukri Rosli dan Ahnaf Wali Alias, Tradisi Keilmuan Bahasa Jawi, (Kuala Lumpur: Akademi Jawi Malaysia, 2022)

Philip Bruckmayr, Cambodia’s Muslims and the Malay World: Malay Languange, Jawi Script, and Islamic Factionalism from the 19th Century to the Present, (Leiden: Brill, 2019)

Ibn Bathuthah, Tuhfah an-Nuzhzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ‘Aja’ib al-Asfar, manuskrip koleksi Bibliotheque Nationale de France.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *