Apa yang Menjadikan Sebuah Negara itu Kuat?
Penulis: Muhammad Fatkhurrozi
Jika membicarakan sebuah peradaban, sudah tentu membicarakan ideologinya. Berbicara tentang Amerika tentu tak bisa lepas dari kapitalismenya, berbicara Uni Soviet sudah pasti tidak dapat dipisahkan dari sosialismenya, dan berbicara kekhilafahan Islam sudah tentu berbicara tentang “ideologi” (mabda’) Islam. Selama sebuah peradaban memegang erat apa yang menjadi ideologinya, selama itulah peradaban tersebut dapat tegak.
Uni Soviet yang bertahan hampir 70 tahun, dapat tegak selama mereka masih memegang teguh sosialisme yang menjadi ideologi negaranya. Namun hingga pada 1989-an, dunia Timur yang membentang dari Berlin hingga Valdivostok, berderap meninggalkan sistem usangnya yang menyerah dalam “perang dingin” dengan dunia Barat.
Ide sosialisme Soviet dianggap gagal, baik oleh dunia maupun rakyatnya sendiri, untuk dapat mengimbangi konsep kesejahteraan kapitalisme Amerika – yang sebenarnya hanya sedikit lebih baik. Hal ini sudah lama diramalkan oleh Ludwig Von Mises pada 1919, yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi sosialisme tidak akan pernah bekerja. Tidak lebih dari 30 tahun sosialisme eksis di Jerman Timur, Berlin sudah menghadapi protes besar-besaran dari kaum buruh akibat diktatorisme. Hungaria pada 1965 serta Polandia pada 1956, 1970, 1976, dan 1980 juga mengalami nasib serupa.
Kapitalisme yang diemban Amerika dianggap sebagai ide yang lebih baik, dan sampai saat ini masih diterapkan oleh banyak masyarakat dunia. Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin, memuji kapitalisme sebagai “sistem ekonomi pencipta kesejahteraan paling berhasil yang pernah dikenal di dunia”. Namun hal itu nampaknya juga tidak relevan lagi untuk saat ini. Harry Shutt justru menyebutkan bahwa kapitalisme kini sedang mengalami “gejala-gejala utama kegagalan secara sistemik”. Semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dunia, ketimpangan ekonomi dan sosial yang tajam, dan semakin rapatnya interval krisis moneter setidaknya menjadi wajah baru – yang sebenarnya lama – bagi Kapitalisme.
Fenomena keberlangsungan negara di bawah ideologi sosialisme dan kapitalisme mengingatkan kita dengan negara yang dijalankan oleh “ideologi” (mabda’) Islam. Eksistensi ideologi (mabda’) Islam tegak dalam sebuah institusi negara yang direpresentasikan oleh Daulah Islam dan kekhilafahan Islam yang berdiri sejak 622 M hingga 1924 M. Selepas wafatnya Rasul, para sahabat dalam ijma’nya sepakat untuk melanjutkan pemerintahan rintisan Nabi dan kemudian memba’iat Abu Bakar sebagai khalifah pertamanya. Islam terus didalami, diajarkan, diterapkan, dan didakwahkan kepada seluruh penjuru dunia. Daulah Islam bertahan selama 1302 tahun dengan segala kedigdayaannya dan kecemerlangannya karena menjadikan Islam sebagai standar berpikirnya. Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Ad-Daulah Al-Islȃmiyah (1953) menuliskan,
“Daulah Islam berdiri di atas ideologi Islam. Di dalam ideologi itulah kekuatannya. Dengan ideologi itu pula Daulah Islam kokoh dan mencapai ketinggian martabatnya, yaitu sebagai penopang eksistensinya. Dengan demikian, Daulah Islam berdiri dengan kuat karena kekuatan Islam. Daulah Islam berhasil membebaskan negeri-negeri di dunia yang sangat luas hanya dalam kurun waktu kurang dari satu abad. Padahal, sarana yang digunakan hanya kuda dan unta. Semua bangsa dan umat yang dibebaskan tunduk kepada Islam dalam waktu yang sangat singkat. Padahal alat-alat dan sarana penyebarannya sangat terbatas, yakni hanya lidah dan pena. Harus diingat, bahwa yang mewujudkan itu semua dengan sangat cepat adalah Islam yang telah menjadikan negara memiliki kekuatan tersebut.”
Pemahaman akan pemikiran Islam benar-benar dijaga pada tiga generasi awal Islam (sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in) dan koreksi atas kesalahan pemikiran Islam terus dipertahankan. Abdurrahman (2011) dalam bukunya menceritakan, bahwa Abu Bakar mengoreksi pendapat seorang muslim yang keliru dalam memahami salah satu ayat pada QS Al-Maaidah ayat 105. Dikatakan bahwa ayat ini menjadi dalih untuk tidak memerhatikan urusan orang lain dan seharusnya hanya memerhatikan urusannya sendiri. Abu Bakar pun mengoreksi, bahwa ayat ini bukanlah dalil untuk menghentikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Sebaliknya, ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk tidak mengikuti orang-orang yang berbuat kesalahan.
Keberlangsungan pemerintahan Islam pasca sahabat sebenarnya tidak sepenuhnya berjalan mulus. Misalnya pada 1258 M, kekhilafahan ‘Abbasiyah sempat mengalami vacuum of power akibat kehancuran perang melawan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Namun karena masih adanya kesadaran Islam di benak kaum muslim untuk berada dalam satu kepemimpinan dan tak adanya ideologi alternatif yang mencemari pemikiran umat Islam, kekosongan itu hanya bertahan sekitar 3,5 tahun. Kaum muslim dari wilayah Mesir yang dipimpin oleh Saifuddin Quthuz Al-Mu’izzi merebut kembali Baghdad dari pasukan Tartar yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan Islam ke Kairo.
Hal ini sangat berbeda ketika keruntuhan Khilafah ‘Utsmaniyyah pada 1924 . Serangan pemikiran yang bertentangan dengan Islam terus menggerus kekuatan Daulah, hingga kemampuan berpikir umat pun merosot dan menghasilkan pola sikap yang jauh dari nilai-nilai Islam. Khilafah yang semakin lemah pun hanya tinggal menunggu waktu hingga ia benar-benar runtuh dan kehilangan eksistensinya hingga hari ini.[]
Sumber:
Abdurrahman, M. Membangun Pemikiran Cemerlang. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2011.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Ad-Daulah Al-Islȃmiyah. Dȃr Al-Ummah. Beirut. 1953.
Aslund, Anders. How Capitalism was Built. Cambridge. Cambridge University Press. 2007.
Gilpin, Robert & Gilpin, Jean Millis. Tantangan Kapitalisme Global (The Chalenge of Global Capitalism). Penerjemah Haris Munandar & Dudy Priatna. Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa. 2002.
Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. Jakarta. Penerbit TERAJU. 2005.