Uncategorized

Kasus Bunuh Diri Mencurigakan di Masa Khilafah ‘Utsmaniyyah

Share the idea

Di masa Khilafah ‘Utsmaniyyah, juga pernah terjadi kematian bunuh diri yang mencurigakan dari sang mantan khalifah, Sultan Abdul Aziz.

Hanya beberapa hari setelah Sultan Abdul Aziz dicopot dari jabatannya sebagai khalifah, ia ditemukan tewas dan dinyatakan bunuh diri oleh kelompok ‘Utsmani Muda yang menguasai pemerintahan. Laporan tersebut membuat khalifah penggantinya, yakni Sultan Murad V, menjadi gila, dan hanya menjabat sebagai sultan selama 93 hari. Secara terpaksa, akhirnya kelompok ‘Utsmani Muda (kelompok yang sama dengan yang mengangkatnya sebagai sultan) mencopot Sultan Murad V dari kursi kesultanan dan menggantinya dengan saudaranya, Abdul Hamid II, pada 31 Agustus 1876.

Wikipedia, yang menyadur sumber dari Republic of Turkey Ministry of Culture and Tourism, mencukupkan pada pernyataan bahwa Sultan Murad V diturunkan karena keinginannya untuk mereformasi kesultanan.

Ketika naik menjadi sultan, Abdul Hamid II memang dihadapkan pada dua persoalan:

1.Pengaruh sistem Bab-ı Ali, dengan mengangkat wazir agung/wakil khalifah (Sadr-ı Azam) yang berusaha menguasai jabatan dan kewenangan sang sultan sebagai khalifah, yang sebelumnya telah menguasai dan mengacak-acak pemerintahan ayahnya, Abdul Majid I, juga pamannya, Abdul Aziz.

2.Ancaman kelompok ‘Utsmani Muda (Yeni Osmanlılar), aktor yang menginisiasi sistem Bab-ı Ali dan parlementer sebagai sistem yang membatasi kewenangan sultan. Kelompok ‘Utsmani Muda merupakan kelompok intelegensia ‘Utsmaniyyah yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Barat.

Sultan Abdul Hamid II dalam sinema “Payitaht Abdulhamid”

Dengan teknologi CCTV yang belum ada saat itu, Sultan Abdul Hamid II merasa curiga dengan kasus bunuh diri pamannya, dan mengadakan pengadilan untuk menyelesaikan kasus terbunuhnya Sultan Abdul Aziz. Sultan Abdul Hamid II yang dikenal cerdas itu mengatakan,

“Bagaimana mungkin seseorang yang bunuh diri dapat memutus dua pembuluh darah dua lengannya sekaligus?”

Pengadilan kemudian memutuskan, bahwa Sultan Abdul Aziz tidaklah mati bunuh diri, melainkan dibunuh atas perintah Midhat Pasha, Sadr-ı Azam (wakil khalifah) yang hanya menjabat selama 2 bulan sebelum diberhentikan oleh Sultan Abdul Aziz karena sering bentrok dengan sultan, dan Huseyin Avni Pasha, Menteri Perang.

Pemahaman atas latar belakang setiap kelompok memang sangat penting dalam politik. Sultan Abdul Hamid II, tidak sudi ditekan oleh kelompok yang telah membunuh pamannya. Ia berupaya melawan mereka semaksimal mungkin dengan membersihkan pengaruh dan kekuasaan mereka.

Untuk alasan itulah, setelah dua tahun berkuasa Sultan Abdul Hamid II membubarkan parlemen yang dikendalikan oleh ‘Utsmani Muda sekaligus mengakhiri era Tanzimat, yakni era ketika ‘Utsmani berupaya untuk meniru sistem Pemerintahan Eropa, termasuk mengadopsi berbagai undang-undang yang mengandung pemikiran dan nilai-nilai Barat.

Dalam pandangan Abdul Hamid II, paham demokrasi sebagai dasar dari sistem parlementer yang ditawarkan ‘Utsmani Muda “tidak cocok bagi semua keadaaan suatu bangsa”.

“Pada awalnya,” tutur Abdul Hamid II dalam catatan hariannya, “Aku yakin bahwa demokrasi tidak bermanfaat. Akan tetapi sekarang aku yakin dengan dampak buruknya.”

Karena itulah ia mengasosiasikan demokrasi dengan suatu imperialisme yang menghinakan, yang menjadi alat bagi Eropa untuk mengendalikan kedaulatan Khilafah.

Penelusuran lebih lanjut atas sosok Midhat Pasha, akan menghubungkan kita pada kelompok liberal yang kelak, berperan serta dalam penerapan aturan-aturan Barat dalam pemerintahan ‘Utsmaniyyah. Gambar ini merupakan lukisan kartu pos yang merayakan keberhasilan pembekuan kuasa Sultan Abdul Hamid II tahun 1908. Midhat Pasha (paling kiri, lingkaran kuning) juga terlibat di dalamnya.

Batu di pojok kiri bawah menyebutkan “Panjang Umur Undang-Undang Dasar” yang secara berturut-turut dituliskan dalam bahasa Turki ‘Utsmaniyyah, Yunani, dan Prancis (Yaşasın Kanun-ı Esasi / Ζήτω το Σύνταγμα / Vive la Constitution).

Sementara manusia bersayap di langit membawa bendera yang bertuliskan slogan Revolusi Prancis –Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan– yang dituliskan dalam bahasa Turki ‘Uṡmāniyyah dan Yunani (Hürriyet-Ελευθερία, Musevvet-Ισότης, Uḫuvvet-Αδελφότης).

Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, persaudaraan) adalah slogan yang sangat populer di masa Revolusi Prancis. Pemikiran ini menyebarkan di kalangan ‘Utsmaniyyah dan menginspirasi mereka untuk menerapkan nilai-nilai Barat yang sangat berbeda dengan ajaran Islam.

Seorang wanita terantai sebagai simbol “kebebasan” yang terbelenggu Pemerintahan Sultan Abdul Hamid II digambarkan sedang dibebaskan oleh (dari kiri ke kanan) Midhat Paşa, Sebahaddin Bey, Mehmet Fuat Paşa, Namık Kemal, Ahmet Niyazi Bey, dan Enver Paşa.

Rantai dan terminologi kebebasan dalam manga “Attack on Titan”
Gambar slide ke-4 yang dibahas dalam buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda”.

Kisah dampak pemikiran Barat atas umat Islam tentu tak berhenti sampai di sini. Ada banyak sekali konfrontasi dan adu strategi antara kaum muslimin melawan penjajah yang diungkap dalam buku analisis sejarah “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda”.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *