Bagaimana Islam Memandang Keagungan Sebuah Peradaban?
“Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam.
Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat islam kepada akidah-akidah sebelum Islam, tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut.“
Theodore Cuyler Young, Near Eastern: Culture and Society

Masih ingat dengan pembahasan KLI terkait nativisasi?
Nativisasi, yang didefinisikan sebagai “gerakan untuk mengecilkan peran Islam pada sebuah bangsa dengan cara membangkitkan budaya atau sejarah keagungan pra-Islam dan secara licik, menggambarkan Islam sebagai sesuatu yang asing dan merusak kebudayaan lama”, digunakan oleh para penjajah sebagai cara efektif dalam meredam perlawanan sekaligus menghancurkan keyakinan umat terhadap Islam itu sendiri. Di Mesir, Napoleon Bonaparte menggali sisa-sisa kejayaan Fir’aun (Mesir kuno) dan memopulerkannya kembali kepada masyarakat.
Inilah pola yang terjadi ketika para orientalis memasuki tanah-tanah Islam, yakni melakukan berbagai kegiatan arkeologi terselubung.

Hal ini bahkan dicatat oleh Sultan Abdul Hamid II, sultan terhebat ‘Utsmani menjelang keruntuhannya. Dalam catatan hariannya, sang sultan menyampaikan bahwa banyak sekali arkeolog-arkeolog dari Jerman, Inggris, dan Prancis yang meminta izin kepada khalifah untuk masuk ke Iraq, Syam, dan berbagai wilayah Islam untuk melakukan berbagai penelitian arkeologi.
Sultan Abdul Hamid yang sudah membaca geliat politik ini, tentu tidak memberikan izin tersebut. Namun, banyak juga arkeolog yang berhasil menyusup diam-diam ke wilayah Khilafah. Yang terkenal adalah Wilfrid Scawen Blunt yang melanglang buana Suriah, Mesir, dan Najd serta Lawrence of Arabia yang banyak beraktivitas di Riyadh, Syam, dan Iraq.

al-Afgani dan Muhammad Abduh, ulama berpengaruh di berbagai negeri muslim.
Ia mendorong diserukannya isu “Khilafah Arab”, yakni memecah dan “memerdekakan” berbagai negeri muslim di sekitar Arab dari perlindungan dinasti ‘Utsmaniyyah yang bukan Quraisy, agar kaum muslimin mau menerima kepemimpinan Eropa yang menjajah negeri-negeri kaum muslimin.
Informasi lebih lengkap dapat dibaca di buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda” yang diterbitkan Komunitas Literasi Islam. Link pembelian: s.id/bukukli
Dari sini kita melihat pola-pola para orientalis ketika memasuki wilayah-wilayah Islam. Ternyata, bukan hanya di Indonesia yang digali peradaban lamanya untuk menutupi jejak-jejak kemegahan sejarah Islam. Misalnya di Iraq. Sejarah Islamnya padahal sangat luar biasa. Di sana ada Bagdad yang menjadi ibukota Khilafah ‘Abbasiyyah selama ratusan tahun dan menjadi tempat lahirnya imam mazhab yang terkenal, Ahmad bin Hanbal.
Dengan berbagai kekayaan peninggalan Islam tersebut, lantas apa yang diangkat oleh para orientalis bahkan sampai masuk ke film-film? Peradaban Babilonia, Mesopotamia, maupun Sasaniyah.
Termasuk juga di Mesir. Ada Universitas Al-Azhar sebagai salah satu universitas tertua di dunia yang sudah berdiri bahkan sebelum eksisnya Oxford. Ada pula kota tua Kairo, kota tua Fustat, makam Imam Syafi’i, Masjid Amru bin Ash, dll. Tapi apa yang dibangga-banggakan oleh para orientalis, film-film, maupun media? Ya peradaban Fir’aun. Bukan Islam.
Di film “The Mummy” misalnya, ketika menampilkan Islam, ya hanya sebagai keluarga Mesir yang disuruh-suruh menjadi tukang gali dan mati dimakan mumi.
Inilah pengecilan dan pengerdilan kaum muslimin. Sebagaimana yang disampaikan oleh Cuyler Young sebelumnya, bahwa hal ini dilakukan agar umat Islam terombang-ambing, antara memilih Islam atau kemegahan peradaban sebelum Islam.
Makanya, dulu di Mesir sempat ramai ketika Presiden As-Sisi memindahkan mumi-mumi dari dari Egyptian Museum ke National Museum of Egyptian Civilization dengan perayaan yang luar biasa (Pharaohs’ Golden Parade). Setiap yang menyaksikan seolah akan dibawa kembali ke masa Fir’aun.

Kita sebagai umat Islam harus jeli. Sebenarnya, peradaban yang agung nan adiluhung itu seperti apa sih? Banyak ulama yang kemudian menjelaskan hasil pemikirannya, misalnya apa yang disampaikan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab “Nidzom al-Islam”
“Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya.”
Apa maksudnya?
Sebagai makhluk berakal, maka kebangkitan manusia itu tergantung pada pemikiran. Pemikiran tentang apa? Tentang kehidupan, alam semesta, manusia, serta hubungan ketiga hal tersebut dengan sesuatu yang ada sebelum tiga hal itu ada.
Jadi, manusia harus memikirkan. Sebelum adanya kehidupan, alam semesta, dan sebelum eksisnya manusia, itu ada apa sih? Kemudian setelah kehidupan, semesta, dan manusia itu berakhir, akan ke mana? Akan ada apa?
Kalau manusia bisa memikirkan hakikat tentang 3 aspek ini, maka manusia akan bangkit.
Apa yang dipikirkan manusia kemudian adalah, tidak hanya aspek keduniaan. Tapi juga menyiapkan sesuatu yang akan terjadi setelah dia (manusia) tidak ada. Bahasa Islamnya ya akhirat. Ukhrowi. Inti dari semua ini, adalah tentang pemikiran. Pemikiran adalah sebuah kata kunci.
Lantas, bagaimana komentar pemikir muslim lainnya?
Kali ini dari Prof. Syed Naqib al-Attas. Beliau aslinya lahir di Bogor, lalu pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), kampus yang luar biasa. Dalam bukunya yang berjudul, “Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu”, beliau menyampaikan,
“Sejarah telah mengajar bahwa semakin indah dan rumit gaya senirupa, maka semakin menandakan kemerosotan budi dan akal; Acropolis Yunani, Persepolis Iran, Piramid-Piramid Mesir, tiada menyorotkan sinaran budi dan akal.
Dalam menilai peranan dan kesan Islam, ciri-ciri yang harus dicari oleh mereka bukan pada tugu dan candi, (atau) pada pahatan dan wayang – ciri-ciri yang mudah dipandang mata jasmani. Akan tetapi, pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya menunjukkan daya budi dan akal merangkum pemikiran.”
Maksud beliau adalah, bangunan-bangunan megah pada dasarnya tidak menyorotkan sinaran budi dan akal. Jika hanya adu kemegahan, semua peradaban bisa melakukannya. Maka, dalam menilai peranan dan kesan Islam, ciri-ciri yang harus dicari bukan pada tugu, candi, pahatan, maupun wayang. Bukan ciri-ciri yang mudah dipandang oleh panca indra.
Kalau kita ingin menilai keagungan suatu peradaban, kita harus menilainya dari bahasa dan tulisan. Hal ini berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani sebelumnya, yakni pemikiran.
Jadi, bukan megah-megahan candi Borobudur luasnya sekian, candi Prambanan tingginya sekian. Memang, manusia pada dasarnya melihat sesuatu yang akbar itu akan merasa takjub. Sebab di hadapannya, manusia akan merasa lemah dan tak berdaya. Tak heran, jika orang-orang zaman dahulu pada akhirnya justru menyembah gunung, matahari, bulan, dll.
Orang-orang yang diperlakukan layaknya Tuhan, sebagaimana Fir’aun, Namrud, banyak membangun bangunan-bangunan yang besar. Padahal, Islam hadir ke tengah-tengah manusia bukan untuk adu kebesaran bangunan. Tapi untuk meninggikan akal dan pemikiran mereka!