Mengapa Membaca Menjadi Syarat Utama dalam Menulis?
“Baca, tulis. Dengar, bicara. Siapa pun yang dapat menghasilkan karya tulis yang menggugah, pastilah ia seorang pembaca yang baik. Siapa pun yang memiliki kemampuan berbicara yang berpengaruh, pastilah ia seorang pendengar yang baik.”
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (TQS Al Alaq 1-5)
Salah satu faktor agar kita sukses mengarungi dunia menulis adalah dengan rajin membaca. Hal inilah yang seharusnya ditekankan kepada siapapun yang ingin memulai memperdalam dunia menulis. “Anda ingin menulis? Sudah berapa buku yang anda baca?”.
Membaca adalah pemantik bagi sebuah tulisan, serta bahan utama bagi adonan tulisan tersebut. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa membaca menjadi faktor utama dalam kegiatan menulis kita.
Sumber Informasi
Kita mungkin sudah sering mengenal istilah bahwa “membaca adalah jalan mengenal dunia”. Ya, dengan membaca kita mendapatkan berjuta-juta informasi yang akan menjadi ruh bagi tulisan kita. Buku sendiri adalah penjara bagi jutaan informasi, dan membacanya adalah cara membebaskannya.
Di dalamnya terdapat berbagai informasi dari masa lalu hingga masa depan, dari tempat terjauh hingga terdekat, informasi umum, khusus, hingga rahasia, semuanya terpenjara di dalam buku. Informasi inilah yang membuat goresan pena kita hidup, bernapas, bahkan menari. Karl May (seorang sastrawan besar Jerman) konon menghasilkan novel-novel petualangannya seperti Winnetou, Kara ben Nemsy, hingga Di Pelosok-Pelosok Balkan setelah membaca ratusan buku ensiklopedia, surat-surat kabar, jurnal-jurnal petualangan, hingga peta-peta Amerika, Afrika, dan Eropa. Dengan membaca, minimal kita mendapatkan sebuah informasi yang dapat kita bagi kepada sesama melalui goresan pena kita.
Pengaya Kosakata
Dengan membaca kita mendapatkan secara gratis jutaan kosakata yang menjadi amunisi tulisan kita. Kosakata ibarat kosmetik yang akan mempercantik tulisan. Sungguh sangat mengasyikkan apabila kita mampu bermain-main dengan kosakata, sehingga pembaca tidak bosan ketika membaca tulisan kita.
Kita bisa memahami berbagai kata ganti, kata umum-khusus, istilah-istilah di bidang tertentu, kosakata sastrawi, hingga kosakata dalam bahasa tertentu yang menambah kecantikan tulisan kita. Tentu akan sangat membosankan bila kita harus membaca jutaan kosakata di dalam kamus, namun akan sangat menyenangkan bila kita mendapatkannya dari membaca novel, cerpen, dan buku-buku kesukaan kita.
Mengenal Struktur Tulisan
Membaca akan membuat kita mengenal struktur dan konstruksi sebuah tulisan. Sangat berbeda rasanya apabila kita terus menerus dijejali teori-teori tentang struktur dan konstruksi dibandingkan kita membaca aneka tulisan yang tanpa sadar membuat kita paham bahwa tulisan yang baik adalah seperti tulisan yang kita baca sebelumnya.
Bahkan, tak sedikit yang menganjurkan untuk menabrak segala kaidah dalam dunia kepenulisan sebagai resep awal dalam menulis. Persetan dulu dengan teori kepenulisan jurnalistik, bahasa baku, feature, jenis-jenis wacana, dan aneka teori lainnya yang didapatkan di masa sekolah hingga bangku kuliah. Baca, amati, dan tiru. Teruslah membaca dan temukan aneka konstruksi dan struktur unik yang pada saatnya menghasilkan tulisan normal dan tanpa cacat.
Inspirasi Gaya Tulisan
Setiap manusia butuh idola untuk ditiru, begitu pula tulisan. Kita sebagai penulis pemula butuh banyak membaca yang salah satunya untuk menduplikasi gaya tulisan penulis lain. Dengan membaca, kita akhirnya mampu membedakan gaya tulisan novel Habiburrahman
El Shirazy dengan Andrea Hirata, sebagaimana Habiburrahman yang cenderung beraliran spiritual romantik – hingga membuat nyaris mewek – serta Andrea yang mengedepankan gaya humor sarkastik – hingga membuat air mata kita keluar saking lucunya.
Begitu pun dengan gaya Salim A. Fillah dengan Divan Semesta, walaupun kedua penulis tersebut mengangkat tema yang hampir sama. Membaca tulisan Salim, seakan berhadapan dengan seorang santri intelektual jebolan Gontor atau Madinah. Sedangkan membaca tulisan Divan, seakan diajak berdiskusi dengan gembong punk yang baru aja tobat setelah kepalanya dibenturkan dengan aneka pemikiran. Dari sinilah kemudian kita dapat memilah gaya apa yang paling cocok untuk tulisan yang kita buat. Kuncinya, sekali lagi adalah banyak membaca.
Menulis sekali lagi bukan pekerjaan instan, dibutuhkan penggelutan atas dunia baca selama bertahun-tahun. Menulis juga bukanlah cara termudah untuk menjadi kaya raya. Namun percayalah, bahwa semua itu akan terbayar kala jutaan kepala terinspirasi, tercerahkan, dan tercerdaskan hingga menjadikannya sebuah jariyah bagi kita, meski jiwa telah berlepas dari raga.[]