Upah Minimum: Jurus Kapitalis Biar Buruh Tetap Hidup Tapi Susah
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin hadir membawa solusi komprehensif terhadap berbagai permasalahan manusia, termasuk permasalahan ketenagakerjaan. Dalam Islam, hubungan antara buruh dan pengusaha diatur berdasarkan prinsip keadilan, saling ridha, dan penghapusan segala bentuk eksploitasi. Islam menegaskan bahwa buruh adalah mitra, bukan sekadar alat produksi, sehingga harus diperlakukan dengan hormat dan diberi hak-haknya secara penuh.
Salah satu akar masalah dalam dunia perburuhan saat ini adalah penggunaan tolok ukur yang keliru dalam menentukan gaji, yaitu berdasarkan living cost terendah. Tolok ukur ini menyebabkan standar upah yang tidak manusiawi, hanya cukup untuk bertahan hidup tanpa mempertimbangkan kesejahteraan buruh sebagai manusia yang berhak atas kehidupan layak.
Akibat penggunaan standar living cost terendah, banyak perusahaan melakukan eksploitasi terhadap buruh. Mereka dipaksa bekerja keras dengan upah minim, jam kerja panjang, dan tanpa jaminan kesejahteraan. Dalam Islam, praktik ini jelas merupakan bentuk kezhaliman yang dilarang keras, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.” (HR. Ibnu Majah).
beberapa contoh historis nyata tentang pemberian gaji minimum buruh dan eksploitasi buruh oleh perusahaan adalah sebagai berikut:
Revolusi Industri di Inggris (abad ke-18 hingga awal abad ke-19)
- Pada masa Revolusi Industri, banyak buruh — termasuk anak-anak — dipekerjakan di pabrik-pabrik tekstil dan tambang batu bara.
- Jam kerja sangat panjang: 12–16 jam sehari, enam hari seminggu.
- Upah buruh sangat rendah, bahkan hanya cukup untuk bertahan hidup. Tidak ada standar upah minimum pada waktu itu.
- Kondisi kerja sangat berbahaya: kecelakaan, polusi, penyakit, dan kematian dini sangat umum.
- Living cost (biaya hidup minimum) menjadi patokan informal: buruh dibayar sekadar cukup untuk makan dan bertahan hidup, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan atau masa depan mereka.
- Hal ini memicu gerakan sosial seperti Luddite Riots dan akhirnya munculnya serikat buruh pertama.
Triangle Shirtwaist Factory Fire – Amerika Serikat (1911)
- Terjadi di New York City; lebih dari 140 pekerja, kebanyakan wanita muda imigran, tewas akibat kebakaran.
- Sebagian besar pekerja dikurung dalam ruangan sempit dengan upah rendah dan kondisi kerja buruk.
- Jam kerja berkisar 12 jam sehari, dengan upah sangat minim.
- Tragedi ini mengungkap eksploitasi ekstrem di industri garmen dan mendorong reformasi besar dalam undang-undang ketenagakerjaan AS, termasuk jam kerja maksimal dan standar keselamatan kerja.

Kasus Eksploitasi Buruh di Bangladesh (Rana Plaza Collapse – 2013)
- Rana Plaza, gedung berlantai 8 yang menampung pabrik-pabrik tekstil, runtuh dan menewaskan lebih dari 1.100 buruh.
- Para buruh dipaksa tetap bekerja meskipun gedung sudah retak dan dinyatakan tidak aman.
- Gaji buruh tekstil di Bangladesh saat itu sekitar $38 per bulan — salah satu yang terendah di dunia — hanya cukup untuk kebutuhan pokok.
- Produk dari pabrik tersebut diekspor ke merek-merek fesyen besar di Barat, memperlihatkan eksploitasi global dalam rantai pasok industri tekstil.
Gerakan Buruh Indonesia – Sejarah Hari Buruh 1920-an
- Pada zaman kolonial Hindia Belanda, buruh perkebunan dan industri dibayar sangat rendah, sering kali tidak lebih dari upah hidup minimum untuk mempertahankan eksistensi.
- Buruh dipaksa kerja paksa (rodi) dan menghadapi kondisi kerja yang tidak manusiawi.
- Ini memicu lahirnya organisasi buruh seperti Persatuan Pergerakan Kaum Buruh dan peringatan Hari Buruh (1 Mei) di Indonesia sejak 1920.
Menyadari dampak buruk dari eksploitasi, kaum kapitalis pun akhirnya terpaksa merevisi konsep kebebasan kepemilikan dan bekerja. Mereka mulai meninggalkan standar living cost terendah dan mencari pendekatan baru dalam menentukan upah. Namun, pendekatan ini tetap berorientasi pada keuntungan kapitalis, bukan pada keadilan sejati sebagaimana dalam sistem Islam.
Pada masa awal kapitalisme, upah buruh sepenuhnya diserahkan pada prinsip kebebasan kontrak antara pekerja dan pengusaha. Tidak ada intervensi negara, sehingga banyak buruh dibayar sangat rendah, hanya cukup untuk bertahan hidup. Namun, krisis ekonomi besar seperti Depresi Besar (1929) memaksa perubahan besar. Melalui Fair Labor Standards Act (FLSA) tahun 1938, Amerika Serikat untuk pertama kalinya menetapkan upah minimum nasional, membatasi jam kerja, serta melarang kerja anak-anak. Langkah ini mencerminkan revisi besar terhadap prinsip kebebasan bekerja dan kepemilikan; negara terpaksa turun tangan untuk menetapkan batasan minimum demi mencegah eksploitasi yang meluas.
Setelah Perang Dunia II, perubahan paradigma berlanjut di Eropa Barat dengan munculnya konsep family wage. Berbeda dari sekadar menetapkan upah minimum untuk individu, family wage bertujuan agar seorang pekerja mampu memenuhi kebutuhan seluruh keluarganya. Ide ini lahir dari kebutuhan untuk membangun kembali masyarakat yang stabil pascaperang, sekaligus menahan gejolak sosial yang bisa mengarah pada revolusi. Dalam konteks ini, negara-negara kapitalis seperti Inggris, Prancis, dan Jerman tidak lagi membiarkan hubungan industrial sepenuhnya dikendalikan pasar bebas, tetapi ikut mengatur upah agar lebih mencerminkan kebutuhan manusiawi dan menjaga keseimbangan sosial.
Perubahan lebih lanjut terjadi dengan berkembangnya model welfare capitalism, terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat sepanjang abad ke-20. Welfare capitalism menandai kesadaran bahwa untuk mempertahankan sistem kapitalisme, negara harus memberikan jaminan-jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, tunjangan pengangguran, dan perlindungan kerja. Intervensi ini menunjukkan bahwa prinsip kebebasan ekonomi absolut yang dianut kapitalisme klasik harus dikoreksi. Negara mulai aktif menetapkan kebijakan yang membatasi pasar demi melindungi kesejahteraan rakyat, sekaligus menjaga kelangsungan stabilitas ekonomi dan politik.

Masalah ketenagakerjaan sebenarnya berpangkal pada upaya memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Selama fokusnya hanya pada mempertahankan hidup, tanpa menjamin kesejahteraan, maka ketidakadilan akan terus terjadi.
Oleh karena itu, penyelesaian masalah ketenagakerjaan tidak bisa hanya berputar pada hubungan kerja semata, melainkan harus mencakup pemenuhan kebutuhan masyarakat secara umum. Solusi harus menguntungkan kedua belah pihak, tanpa ada yang merasa dirugikan, baik pekerja maupun pengusaha.
Permasalahan ketenagakerjaan bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian besar:
1. Permasalahan terkait pemenuhan kebutuhan hidup, seperti ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah, tunjangan sosial, buruh wanita, dan pekerja di bawah umur.
2. Permasalahan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya.
Persoalan ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, dan lemahnya SDM adalah contoh nyata dari masalah pemenuhan kebutuhan hidup. Masalah ini menuntut peran negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan, memperbaiki pendidikan, dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
Sementara itu, masalah yang berkaitan dengan kontrak kerja, seperti PHK atau sengketa perburuhan, merupakan ruang di mana pengusaha dan pekerja harus bernegosiasi secara adil. Pemerintah di sini berfungsi sebagai pengawas dan penengah jika terjadi konflik.
Dalam Islam, kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah bentuk akad ijarah (akad sewa jasa) yang wajib didasarkan atas prinsip ridha (saling rela) dan keadilan. Ketika terjadi perselisihan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) atau sengketa hak dan kewajiban, kedua pihak harus mengedepankan musyawarah untuk mencari solusi yang adil. Islam tidak membiarkan satu pihak mendominasi atau menzalimi pihak lain.
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Mā’idah: 1)
Ayat ini menjadi dasar hukum bahwa setiap perjanjian — termasuk kontrak kerja — harus dipenuhi dengan benar. Jika ada perselisihan, penyelesaiannya harus mengacu pada kesepakatan awal yang adil.
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” (HR. Abu Dawud, no. 3594)

Hadis ini menunjukkan bahwa selama kontrak kerja dibuat atas dasar yang sah dan tidak bertentangan dengan syariat, kedua belah pihak wajib menunaikannya. Bila terjadi perselisihan yang tidak bisa diselesaikan secara mandiri, pemerintah (dalam hal ini aparat negara atau lembaga hukum) bertindak sebagai hakim atau penengah, bukan mengambil alih kewenangan pengusaha atau buruh secara sepihak.
Prinsip ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang hakam (penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan; jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya.” (QS. An-Nisā’: 35)
Meskipun ayat ini berbicara tentang sengketa rumah tangga, prinsip pengiriman penengah untuk mengupayakan rekonsiliasi juga berlaku dalam urusan muamalah lain, termasuk dalam konflik ketenagakerjaan.
Dalam Islam, negara memiliki peran sentral dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan, terutama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan sepenuhnya urusan ini kepada mekanisme pasar. Negara harus hadir untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat secara adil.
Negara memiliki kewajiban syar’i untuk mengurusi urusan rakyat, termasuk menjamin kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Masalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Negara wajib aktif mengelola perekonomian agar kesejahteraan rakyat tercapai.
Hal ini berlandaskan pada sabda Rasulullah ﷺ:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari, Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa pemimpin negara bertanggung jawab langsung terhadap kebutuhan hidup rakyatnya, termasuk dalam hal ketenagakerjaan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Negara tidak boleh berpangku tangan dan membiarkan pengusaha atau pasar menentukan sendiri tanpa pengawasan.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Dan berikanlah kepada orang-orang miskin itu haknya, juga kepada orang yang miskin dan orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Isrā’: 26)
Ayat ini mengajarkan pentingnya distribusi kekayaan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Negara berperan memastikan bahwa tidak ada individu yang terabaikan dalam kebutuhan pokoknya.

Bahkan dalam struktur pemerintahan Islam, Rasulullah ﷺ mendirikan lembaga Baitul Mal untuk:
- Menampung dan mengelola harta zakat, fai’, ghanimah, dan sumber pemasukan negara lainnya.
- Menyalurkan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin, membiayai kesehatan, pendidikan, serta membantu rakyat yang kehilangan pekerjaan atau dalam kesulitan ekonomi.
Dalam praktiknya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, negara aktif mendistribusikan kekayaan hingga tidak ditemukan lagi orang yang berhak menerima zakat di beberapa wilayah, seperti di negeri Yaman.
Oleh karena itu, dalam Islam, politik ekonomi negara harus diarahkan untuk:
- Memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat.
- Menjamin tersedianya lapangan kerja dan dukungan bagi yang belum mampu mandiri.
- Menciptakan sistem distribusi kekayaan yang adil.
Negara tidak boleh berlepas tangan atau hanya menjadi “wasit” dalam urusan ekonomi, melainkan wajib terjun langsung mengatur dan melindungi rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Masalah ketenagakerjaan yang disebabkan oleh kebijakan politik ekonomi harus diselesaikan negara. Islam menegaskan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap individu: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Untuk itu, negara harus menerapkan Politik Ekonomi Islam, yakni kebijakan makro yang menjamin pemenuhan kebutuhan primer seluruh masyarakat, serta memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan mereka.
Negara bertanggung jawab penuh untuk memastikan kebutuhan dasar rakyat — yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan — terpenuhi. Negara wajib mengelola urusan ekonomi bukan sekadar untuk pertumbuhan angka-angka makroekonomi, melainkan untuk memastikan kesejahteraan individu-individu rakyat secara nyata.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Dan Kami jadikan di bumi ini untuk kamu sumber-sumber penghidupan, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (QS. Al-Hijr: 20)
Ayat ini menegaskan bahwa sumber-sumber penghidupan yang ada di bumi disediakan Allah untuk manusia, dan pengelolaannya harus menjamin kebutuhan semua orang, bukan dikuasai segelintir pihak saja. Negara bertugas untuk mengelola sumber daya ini dengan adil sehingga setiap individu mendapatkan bagian yang layak.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak bersama) dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya vital (seperti air, energi, dan bahan pangan) harus dikelola untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan dimonopoli. Ini dasar dari politik ekonomi Islam, yakni memastikan bahwa kebutuhan primer seperti pangan, energi, dan tempat tinggal bisa diakses oleh seluruh masyarakat.
Dalam praktik kenegaraan Islam, para khalifah memperjelas kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah berkata:
“Seandainya ada seekor keledai mati karena kelaparan di tepi sungai Efrat, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawaban atasnya dariku.”
Ini menggambarkan betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, bahkan terhadap makhluk sekalipun, apalagi manusia. Negara dalam Islam tidak boleh menyerahkan nasib rakyatnya kepada mekanisme pasar atau sekadar belas kasihan para pengusaha; negara wajib hadir langsung dalam mengelola ekonomi untuk memastikan seluruh individu masyarakat terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Dari semua ini jelas bahwa politik ekonomi Islam bukan sekadar konsep bebas pasar atau intervensi parsial, melainkan kebijakan makro yang diarahkan untuk menjamin kesejahteraan merata, dengan prinsip-prinsip:
- Pemerataan distribusi kekayaan.
- Kepemilikan umum atas sumber daya strategis.
- Larangan eksploitasi dan monopoli.
- Pemberian akses kerja dan kesempatan berusaha kepada seluruh rakyat.