Apa yang Sebenarnya Terjadi dalam Peristiwa 30 September 1965?
Penulisan sejarah di Indonesia memang jauh dari paradigma islami. Bahkan, kesadaran penulisannya mengalami stagnasi hingga degradasi. Termasuk ketika berbicara peristiwa September 1965 yang masih mengandalkan film buatan Orde Baru pada 1984.
Harus diakui, film ini tak luput dari kritik. Laporan visum para korban dan kesaksian marinir justru tak menunjukkan perilaku pencongkelan mata atau sayat menyayat seperti dalam film.[1]
Noda setitik, rusak susu sebelanga. Kritik tersebut justru membuat kebenaran historis film G 30 S/PKI seakan runtuh. Padahal tidak semua peristiwa di film tersebut adalah kebohongan, bahkan mayoritasnya memang benar terjadi.
Narasi orba kemudian dilawan dengan film seperti Jagal yang menempatkan PKI sebagai korban dan rezim orba sebagai tersangka. Umat Islam tentu tak perlu terjebak dalam pusaran narasi seperti ini. Kita seharusnya memiliki narasi sendiri tentang sejarah 1965.
Namun, inilah persoalannya. Umat Islam saat ini tidak memiliki referensi melimpah tentang literatur sejarah konflik. Tak banyak buku sejarah 1965 yang ditulis dari perspektif suara umat Islam.
Sayangnya, buku sejenis “Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi Umat Islam dengan Partai Komunis Indonesia” (2017) yang ditulis dengan ikhtiar menyajikan penulisan sejarah PKI dari perspektif umat Islam, jumlahnya tak banyak. Buku-buku yang mencoba menandingi dominasi narasi yang menyebut bahwa kelompok kiri adalah korban, seperti “Ayat-ayat yang Disembelih” (2015) dan “PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G-30S/1965”, justru tidak memberikan konteks dari setiap peristiwa.
Buku “Ayat-ayat yang Disembelih” hanya menjadi semacam rangkuman dari kekejaman PKI. Sedangkan buku “PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G-30S/1965”, selain masih mengangkat kisah penyiksaan para perwira seperti di film G 30 S/PKI, buku itu tidak membahas pembunuhan atas orang-orang (yang diduga) kiri pasca peristiwa 1965.
Padahal, bahasan itu adalah isu penting yang terus naik daun. Narasi dari pihak yang mempersoalkan pembunuhan orang-orang kiri pasca September 1965 memang begitu masif dan sangat menyoroti persoalan HAM, menuding rezim Suharto sebagai pelakunya dan menuntut persoalan ini diselesaikan.
Padahal, kita membutuhkan penulisan komprehensif untuk menjawab apa yang sebenarnya terjadi pada 1965.
Peristiwa 1965 selama ini dianggap berdiri sendiri dan terlepas dari rangkaian peristiwa sebelumnya, baik Pemberontakan Madiun 1948 maupun teror yang dialami kelompok anti-komunis, khususnya umat Islam. Padahal, pengungkapan ini sangat penting untuk melihat sebab-akibat dan dampak politik polarisasi yang dimainkan elit di masa orde lama. Bayangan kekejaman peristiwa 1948 masih menghantui kelompok anti-komunis saat itu. Kita tentu tak menemukan suara-suara umat Islam yang terteror di karya yang menggugat peristiwa pembunuhan pasca September 1965, sebagaimana yang ditulis Geoffrey Robinson atau Jess Melvin.
Dalam bukunya, “The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966”, Robinson bahkan tak menulis sebaris pun tentang korban pembantaian PKI dalam peristiwa 1948. Ia justru menggugat eksekusi para anggota PKI yang terlibat dalam pemberontakan, “Selama pelaksanaan operasi ini, mereka menangkap sekitar tiga puluh lima ribu anggota PKI dan membunuh banyak orang. Terkadang para korbannya dibunuh melalui eksekusi massal yang mengerikan,”[2]
Robinson dan penulis serupa lainnya tentu tak mau repot-repot memikirkan penyebab terjadinya pembunuhan atas anggota PKI yang terlibat pemberontakan. Dia tidak (merasa) perlu menuliskan, bahwa banyak kaum santri dan kiai yang dieksekusi dengan tak kalah mengerikan.
Ketimpangan lain adalah kerap dikaburkannya arsitek di balik pembunuhan perwira Angkatan Darat (AD) di malam 30 September. Jess Melvin misalnya, dalam artikelnya yang mengupas keterlibatan AS dalam mendorong pembunuhan pasca 1965, menyebut peristiwa 1965 sebagai aksi internal militer yang gagal. Padahal, teori itu sudah kadaluwarsa. Asumsi ini pertama kali dicetuskan Ben Anderson dan Ruth McVey dalam kumpulan makalah mereka (dikenal dengan Cornell Paper) setahun setelah peristiwa 30 September.[3]
Pada masa itu dengan segala keterbatasan sumber, wajar jika kesimpulan tersebut muncul. Seiring berjalannya waktu, kesimpulan itu terbantahkan. Teori ini sebenarnya sejalan dengan isi editorial surat kabar PKI, Harian Rakjat edisi 2 Oktober 1965. Editorial yang sebenarnya mendukung gerakan malam 30 September 1965 itu menulis,
“Kita Rakjat memahami betul apa jang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakan jang patriotik itu. Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tsb. adalah persoalan intern AD.”
Tak pelak, editorial sesungguhnya mendukung gerakan Untung Cs tanpa mau melibatkan PKI di dalamnya. Kenyataannya, yang terjadi tidaklah demikian.
Di balik peristiwa 1965 berdiri Biro Chusus, sebuah badan rahasia dalam PKI yang bertugas membina para perwira militer yang bersimpati pada partai. Hanya segelintir elit partai yang mengetahui tindak tanduk biro yang dipimpin Sjam Kamiruzzaman ini. Sjam melapor langsung kepada ketua partai, D.N. Aidit. Walhasil, tidak semua anggota bahkan elit partai yang mengetahui tindak tanduknya dalam peristiwa berdarah itu.[4]
Maka, teori konfilk internal AD bukan saja lemah, tetapi bermaksud membebaskan PKI dari peristiwa 1965. Hal inilah yang memang diinginkan Aidit. Perwira AD yang anti-komunis tersingkir, tetapi dalang di balik gerakan biadab tersebut tidak diketahui. Rencana tersebut diucapkan Aidit kepada Mao Tse Tung (pemimpin Partai Komunis Cina/PKC) ketika bertemu pada 5 Agustus 1965 yang membahas kemungkinan perebutan kekuasaan pasca wafatnya Sukarno,
“Menurut skenario pertama, kita merencanakan untuk membentuk sebuah komite militer. Sebagian besar anggota komite akan terdiri dari orang-orang sayap kiri, namun juga akan memasukkan beberapa elemen tengah. Dengan cara ini, kita akan membuat musuh kita kebingungan. Musuh-musuh kita akan tidak merasa yakin tentang apa hakikat dari komite ini, dan karena itu para komandan militer yang bersimpati kepada sayap kanan akan tidak menentang kita dengan segera...”
“…Kalau kita langsung mengibarkan bendera merah kita, mereka akan segera menentang kita. Kepala komite militer ini haruslah anggota rahasia partai kita, namun dia akan mengidentifikasi diri sebagai orang yang netral. Komite militer ini tidak boleh berkuasa terlalu lama. Sebab kalau tidak, orang baik akan berubah menjadi orang jahat. Setelah komite ini terbentuk, kita perlu mempersenjatai kaum buruh dan tani, dalam waktu yang tepat.” [5]
“Komite Militer” yang dimaksud Aidit adalah Dewan Revolusi pimpinan Untung. Meski mayoritas komite bersimpati pada sayap kiri, tetapi sebagaimana dibeberkan Aidit, akan dimasukkan juga orang-orang yang netral untuk menghindari kecurigaan kelompok militer anti-komunis. Inilah yang sebenarnya terjadi pada 1 Oktober 1965.
Sayangnya, tulisan Zhou tak mempengaruhi kesimpulan Melvin atau Geoffrey Robinson yang ditulis belakangan. Robinson justru mempersoalkan “biro chusus” dan mempertanyakan mengapa PKI berniat merebut kekuasaan dengan mempertaruhkan semua pencapaian yang telah mereka miliki.[2]
Padahal jawaban tersebut dapat dirujuk kembali pada percakapan Aidit dengan Mao yang dikutip dalam artikel Zhou sebelumnya. Aidit dan Mao khawatir dengan kesehatan Sukarno yang memburuk.
Mao: “Menurut saya, golongan sayap kanan berencana untuk merebut kekuasaan. Apakah kalian juga punya rencana itu juga?
Aidit: [Sambil menganggukkan kepala] “Kalau Soekarno meninggal, itu adalah masalah siapa yang berada di atas angin.” [5]
Saat itu adalah masa untuk saling mendahului antara dua kekuasaan di bawah Sukarno, jika Sukarno tak (mampu) lagi memimpin. Entah PKI dahulu yang menghabisi para elit militer anti-komunis atau sebaliknya.
Rencana yang dibeberkan Aidit kepada Mao akhirnya memang dilaksanakan pada malam 30 September 1965, namun tak sesuai harapan karena Sukarno kemudian berbalik badan.
Sedemikian terang benderang pun nyatanya tidak mampu menggoyahkan argumen penulis seperti Robinson. Alih-alih ia mengajukan pertanyaan seperti, “mengapa militer membiarkan Harian Rakjat terbit pada 2 Oktober” dan “mengapa militer tidak mendatangi kantor surat kabar PKI tersebut”, ia justru terjebak dalam teori konspirasi miliknya: Editorial Harian Rakjat dibuat oleh seseorang yang hendak membuktikan kesalahan PKI.[2]
Padahal dugaan semacam ini sudah dijawab oleh John Roosa. Editorial sudah dibuat sebelum militer melarang, dan kenyataannya kantor Harian Rakjat juga didatangi oleh pihak militer. Editorial pun dibuat oleh orang yang jelas terkait dengan partai.[4]
Sulit bagi kita untuk menerima argumen-argumen seperti Robinson. Akhirnya, sejarah pasca 1965 sering ditulis dengan mengabaikan kondisi pra-65 dan menutup mata atas keterlibatan partai dari peristiwa malam 30 September.
Maka, umat Islam memang perlu menulis sendiri peristiwa 1965 dari segala aspeknya, termasuk pembahasan peristiwa pasca 1965 yang sering digugat. Sayangnya, kita masih sedikit menemukan literatur seperti ini. Umat Islam masih terlalu nyaman bersandar pada narasi versi film orde baru.
Hal ini tentu berbahaya bagi generasi mendatang. Selain menolak mentah-mentah narasi versi Orde Baru yang banyak propaganda, kita juga tidak menemukan referensi memadai dari kalangan umat Islam sendiri. Walhasil, situasi mungkin akan berubah. Kecuali jika umat perlahan sadar, terbangun dari buaian film itu, dan mau menuliskan kembali peristiwa 1965 secara serius.[]
Sumber:
Diolah oleh tim KLI dari tulisan Beggy Rizkiansyah dalam https://www.kiblat.net/2020/09/29/umat-islam-dan-sejarah-1965/ yang bersumber pada
[1] Dr. Ben Anderson. “How Did the Generals Die?“. Journal “Indonesia” April 1987 issue. Cornell University.
[2] Geoffrey Robinson: 2018. “Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal Di Indonesia 1965-1966”. Komunitas Bambu: Depok.
[3] Hanibal Wijayanta (2017) dalam Beggy Rizkiansyah, dkk. 2017. Dari Kata Menjadi Senjata : Konfrontasi Partai Komunis Indonesia dengan Umat Islam. Penerbit Jurnalis Islam Bersatu (JITU). Jakarta.
[4] John Roosa. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra: Jakarta.
[5] Taomo Zhou. 2014. China and the Thirtieth of September Movement. Journal “Indonesia” October 2014 issue. Cornell University.