Bagaimana Haji Memengaruhi Spirit Jihad di Nusantara?
Sejatinya, haji bukan hanya tentang ibadah ritual. Ia adalah simbol persatuan umat, mempertemukan kaum muslimin dari seluruh dunia yang mengingatkan kita, bahwa umat Islam sesungguhnya disatukan dalam ikatan aqidah yang tak memedulikan batasan negara, bangsa, warna kulit, maupun bahasa.
Di masa kolonialisme, pelaksanaan haji bahkan sangat ideologis dan kental dengan nuansa perjuangan. Seorang putra Aceh bernama Fadhilah Khan (Fatahillah), setelah pulang berhaji, langsung mengabdi di Kesultanan Demak dan memimpin operasi pembebasan Sunda Kelapa, yang kelak kita kenal sebagai Jayakarta (kota yang menang) – Jakarta saat ini.
Di berbagai wilayah di Nusantara, para haji memberikan pengaruh besar dalam berbagai seruan jihad. Sultan Ageung Tirtayasa mengangkat para haji dari berbagai suku untuk menjadi panglima pasukannya. Sebutlah Syekh Yusuf al-Maqassari dari Makassar, Imam Haji Wangsakara dari Sumedang, dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang disebut dalam arsip VOC sebagai “Hadjee Karang” dari Tasikmalaya.
Begitu pun dengan Perang Paderi di Minangkabau yang diinisiasi oleh tiga orang Minang yang baru pulang dari Tanah Suci, yakni Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Tak lupa, sebelum momen Perang Jawa, Haji Badaruddin yang merupakan panglima pasukan Suronatan, secara khusus diutus oleh Kraton Yogyakarta untuk naik haji sebanyak 2 kali agar dapat mengumpulkan informasi praktik pengaturan pasukan Khilafah ‘Utsmaniyyah sebagai model percontohan pasukan Diponegoro.
Belanda yang sadar bahwa besarnya pengaruh jihad dari para jamaah haji yang pulang ke Nusantara adalah pola yang berulang, akhirnya membuat peraturan khusus (resolutie),yang pertama kali dikeluarkan pada tahun 1825 dan terus direvisi sepanjang 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.
Besarnya pengaruh ini mengindikasikan, bahwa haji bukan sekedar ibadah penggugur kewajiban, apalagi menjadikannya wisata reliji dan jalan-jalan. Dengan berkumpulnya umat Islam di Mekkah, mereka saling bertukar ilmu dan saling menguatkan dalam ketaatan dan perjuangan untuk agama. Tak heran, jika setelahnya mereka semakin tergerak untuk mengubah realitas yang rusak di kampung halamannya, mulai dari praktik kemaksiatan hingga tekanan penjajajahan.[]