7 Fakta Penting dari Peristiwa Penghapusan 7 Kata
DISETUJUI OLEH SEMUA PIHAK
Bagaimana nasib kaum minoritas jika dasar negara tetap menyantumkan 7 kata itu? Sejak awal, para tokoh bangsa sangat paham atas isu sensitif ini. Itulah mengapa, sebelum Piagam Jakarta disahkan, Prof.Muzakir berulang kali mengonfirmasi persetujuan Mr. A.A. Maramis selaku perwakilan kaum minoritas.
Alexander Andries Maramis menjawabnya dengan “Setuju 200 persen”. Ia paham, bahwa “Ketuhanan tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sementara, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diberlakukan untuk umat Islam saja.”
KESEPAKATAN BERSAMA
Poin-poin Piagam Jakarta adalah kompromi antara kubu nasionalis-religius dengan nasionalis-sekular. Sukarno bahkan mengakui dan memastikan berkali-kali, bahwa falsafah itu dapat “menghimpun segenap kalangan”.
Sembari membubuhkan tanda tangan, Mohammad Yamin menyatakan, “Saya menyebutnya dengan Piagam Jakarta, Djakarta Charter.” Penamaan itu, terinspirasi dari Piagam negara Madinah yang berulang kali disinggung oleh kubu nasionalis-religius.
PRINSIP KETUHANAN DILETAKKAN DI AKHIR
Untuk mencapai kesepakatan bersama antar dua kubu yang saling bersebrangan, masing-masing gagasan kemudian digodok. Jika sebelumnya Sukarno mengusulkan Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan, maka urutan ini dikoreksi agar prinsip Ketuhanan diletakkan di bagian awal. Prinsip ini kemudian terus menjadi pokok pembahasan yang memanaskan perdebatan.
(LAGI-LAGI) DISETUJUI SEMUA PIHAK
Dari 22 Juni hingga 17 Agustus 1945, terdapat selang waktu yang lama. Dalam masa pembuatan Rancangan Undang-Undang Dasar, banyak pihak yang mempertanyakan kembali kesepakatan para wakil bangsa. Khususnya dari kalangan minoritas.
Misalnya, ketika Mr. Latuharhary dari Maluku mempertanyakan dampak disepakatinya sila pertama. Pertanyaan ini memunculkan suara-suara sumbang tokoh lainnya. Namun setelah diyakinkan kembali oleh banyak pihak, mulai dari Agus Salim, K.H. Wahid Hasyim, hingga Sukarno sendiri, pihak-pihak yang menolak itu akhirnya setuju.
BUNG HATTA LUPA NAMA OPSIR YANG MEMPENGARUHINYA
Pasca proklamasi, pihak yang tak suka dengan sila pertama itu bermain lewat kasak-kusuk di belakang layar. Aspirasi mereka disampaikan oleh “Opsir Kaigun” yang menyatakan keberatan kalangan Protestan dan Katolik atas dasar negara yang berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Ancaman separatisme mereka menghebohkan pemikiran Hatta. Usulan “Opsir Kaigun” yang tak diketahui identitasnya itu (menurut pengakuan Hatta, ia lupa namanya) kemudian diseriusi Sukarno dan dibawa dalam rapat PPKI. Pertama kali dalam sejarah, orang yang tak dikenal itu seenak jidat mengatur-atur kesepakatan bangsa yang proses pembuatannya benar-benar memeras energi. Bung Hatta juga seakan lupa ucapannya sendiri untuk memegang teguh gentlemen agreement Piagam Jakarta.
HILANG MELALUI RAPAT SINGKAT
Dalam rapat pertama PPKI yang diadakan satu hari setelah proklamasi, protes keberadaan 7 kata itu juga menjadi pembahasan. Tanpa dihadiri oleh para perumus Piagam Jakarta, usulan penghapusan itu tak mendapat perlawanan berarti. Hanya sosok Ki Bagus Hadikusumo – yang hadir sebagai anggota PPKI – yang bersikeras mempertahankan kalimat sakral itu.
Keteguhan Ki Bagus luluh melalui lobi Kasman Singodimedjo, pimpinan PETA yang juga menjadi rekannya di Muhammadiyah. Kasman, yang diundang khusus oleh Sukarno sebagai anggota tambahan PPKI, diminta membujuk Ki Bagus. Agar lebih meyakinkan, Sukarno menjanjikan musyawarah penyempurnaan UUD yang berlangsung 6 bulan lagi. Meski alot, lobi yang menihilkan kesepakatan dalam debat-debat panjang sebelumnya ini, selesai hanya dalam 15 menit.
MENGHILANGKAN SELURUH KLAUSUL YANG MENYANGKUT UMAT ISLAM
Meski sempat tertunda, rapat PPKI akhirnya berlangsung dengan memegang persetujuan Ki Bagus atas penghilangan 7 kata.
Namun, petaka luar biasa itu terjadi. Meski sebelumnya hanya melobi untuk menghilangkan 7 kata, namun sebelum Sidang Paripurna dimulai Bung Hatta membacakan empat usulan yang menghilangkan seluruh klausul yang berkaitan dengan umat Islam: kata Mukaddimah diganti menjadi Pembukaan, penghilangan 7 kata, dicoretnya syarat beragama Islam pada Presiden Indonesia, dan penetapan Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” – yang juga merupakan hasil penghilangan 7 kata tersebut.
Lima puluh empat hari perjuangan untuk membentuk Piagam Jakarta, lenyap menguap di rapat kilat.[]
Sumber:
Rizki Lesus, 2017. Perjuangan yang Dilupakan. Pro-U Media: Yogyakarta.