Mengapa Pandemi Covid-19 di Indonesia Begini-Begini Saja?
Meski pandemi sudah berjalan lebih dari satu tahun, namun masih saja ada masyarakat yang tidak percaya dengan keberadaan Covid-19. Mereka meremehkan virus ini meski sudah banyak korban yang telah membuktikan keganasan Corona. Selain itu, masih banyak pula yang percaya dengan kabar negatif dan konspirasi lainnya.
Di Indonesia sendiri, kasus Covid-19 telah menembus angka 2 juta kasus pada Senin (21/6/2021). Kendati terus menyebabkan korban jiwa, tidak sedikit yang menganggap Covid-19 hanyalah akal-akalan pemerintah atau segelintir orang untuk mendapatkan keuntungan dari pandemi yang dibisniskan.
COVID-19 terus melonjak tidak terlepas dari minimnya kesadaran semua pihak, termasuk para pejabat. Perlu adanya suatu upaya peningkatan kesadaran, kerja terstruktur, dan sinergi aparat penegak hukum.
Lonjakan kasus COVID-19 juga disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam menyampaikan narasi terkait kondisi pandemi. Kegagalan pemerintah dalam memberikan jaring pengaman sosial membuat sebagian orang tetap bekerja di luar dengan penuh risiko. Faktor lain seperti banyaknya masyarakat yang tidak percaya Covid-19 dan tidak patuh protokol kesehatan merupakan kegagalan komunikasi risiko pemerintah di masa pandemi.
Adapun kebijakan PPKM juga tidak akan berpengaruh banyak jika tidak diikuti dengan tracing dan testing yang baik. Sehingga desakan untuk memberlakukan lockdown terus digaungkan oleh kalangan ilmuwan. Para ahli juga menyoroti sejumlah fenomena penolakan dan pembangkangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, seperti di Madura. Diyakini suara-suara penolakan itu merupakan konsekuensi logis dari inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Inkonsistensi kebijakan pemerintah sudah berkali-kali dikritisi para pakar selama 15 bulan ini. Yang sangat jelas terlihat ialan narasi kebijakan yang disampaikan satu kementerian dengan kementerian lainnya, serta satu pejabat dengan pejabat lainnya, seringkali berbeda-beda dan kerap bertolak belakang.
Sebut saja ada satu kementerian mempromosikan pembatasan dan protokol kesehatan, namun kementerian lain mendorong mobilitas. Atau, satu pejabat meminta masyarakat untuk di rumah saja, sedangkan pejabat lain justru memotivasi untuk berwisata. Ke Raja Ampat misalnya.
Kepemimpinan yang tegas dan jelas pada akhirnya memang tidak terlihat di tengah krisis multidisiplin ini. Bahkan ketika rumah sakit sudah nyaris kolaps, tidak nampak adanya sense of crisis yang ditunjukkan pemerintah. Rakyat ibarat berperang tanpa panglima.
Walhasil, situasi Indonesia saat ini adalah cermin dari inkonsitensi kebijakan pandemi yang dilakukan pemerintah. Transparansi data dan informasi mestinya jadi kunci penting bagi pemahaman dan respon warga dalam memahami wabah.
Di sisi lain, Indonesia seakan enggan meniru langkah yang diterapkan oleh Malaysia, Filipina, dan Singapura. Singapura misalnya, melakukan pembatasan pertemuan di luar menjadi maksimal dua orang, penutupan sekolah, dan larangan makan di restoran.
Dari sisi ekonomi, lonjakan ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani khawatir akan mengganggu proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal II (Q2) 2021 yang ditargetkan bisa tumbuh 7,1 persen hingga 8,3 persen pada periode April-Juni 2021. Jika melihat kondisi terkini, target yang diproyeksikan pemerintah sulit untuk tercapai. Sebab, lonjakan kasus COVID-19 ini membuat masyarakat harus mengurangi aktivitas, hinggaakhirnyasemakinmengancampotensipertumbuhanekonomi. Masyarakat rugi, pemerintah pun merugi.
Lonjakan penularan Covid-19 di Tanah Air menjadi perhatian pelaku pasar. Kenaikan angka kasus positif ini dinilai bukan karena kesalahan masyarakat semata, tetapi juga kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam mengatasi pandemi.
Baik pemerintah maupun masyarakat, tidak mau belajar dan tidak mau mendengar pendapat para ahli wabah dan kesehatan masyarakat.
Fenomena ini jika dilihat secara lebih global menunjukkan adanya pembangkangan masyarakat terhadap pemerintah. Selain karena gagapnya pemerintah dalam menjawab tantangan yang dihadapi di masa pandemi, hal ini juga merupakan akumulasi dari rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan kondisi krisis akibat pandemi.
Kita tentu masih ingat misalnya, pada masa awal pandemi, pemerintah pusat terkesan menyepelekan COVID-19 dan tidak segera menutup akses bandara Internasional. Hal ini mengakibatkan akses keluar dan masuk orang, dari dalam atau luar negeri, masih berjalan normal seperti biasanya. Pemerintah seperti tidak waspada dan bersiap dari awal akan dampak COVID-19.
Ditambah lagi dengan track record semasa kepemimpinan Pakdhe yang begitu banyak momen yang terus menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sebut saja kasus penistaan agama yang memicu aksi berjilid-jilid, penerbitan perppu ormas, pengesahan omnibus law, korupsi bansos covid-19, kasus tes wawasan kebangsaan di KPK, hingga hebohnya skandal lip service yang menambah panjang daftar masalah dan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata publik.
Sangat sulit bagi masyarakat saat ini untuk kembali percaya kepada para wakilnya: baik presiden, wapres, menteri, DPR, polisi, staf ahli, staf khusus, hakim, hingga kalangan akademisi.
Agar kondisi dapat kembali terkendali, tentu harus ada langkah revolusioner yang dilakukan agar publik dapat kembali mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan semakin meluas. Di tengah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat harus turun dan ikut memberikan arahan yang jelas dalam kondisi krisis ini. Semua harus turut serta agar segera tercapai kondisi darurat yang semakin terkendali.[]