Nasionalisme: Strategi Memecah Belah Umat Islam
Nasionalisme muncul di negeri-negeri Islam ketika negara-negara Eropa berencana untuk meruntuhkan sekaligus menghancurkan Khilafah ‘Utsmaniyyah hingga ke akar-akarnya. Sasaran utama kaum salibis adalah menimbulkan kebencian antara bangsa Arab dan Turki, sebagai 2 bangsa muslim utama kala itu.
Negera-negara imperialis ini menghimpun beberapa orang Arab dan Turki yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan rencana keji mereka. Kegiatan ini bermula di Prancis, tetapi dengan cepat menyebar ke negara-negara lain.
Orang-orang Eropa ini mendirikan kelompok-kelompok rahasia untuk menghimpun massa, seperti Turki Muda yang dibantu oleh Prancis melalui konsulatnya. Pada tahun 1908, Turki Muda melancarkan kudeta dan menculik Sultan Abdul Hamid II serta mengambil alih kekuasaan.
Mereka kemudian menghapus bahasa Arab dan menggantikannya dengan bahasa Turki. Mereka menyerukan pengadopsian budaya Barat dan gaya hidupnya. Mereka juga mengobarkan Nasionalisme Turki dengan cara memaksa rakyat untuk memberikan kesetiaannya hanya semata-mata untuk Turki, bukan pada Khilafah. Kebijakan ini dilakukan untuk menimbulkan provokasi terhadap umat Islam yang berbeda bangsa untuk membuat gerakan yang sama.
Orang-orang Arab, Kurdi, Albania dan kelompok masyarakat lain pun membentuk kelompok masyarakatnya sendiri secara rahasia. Namun, Turki Muda hanya menekan gerakan masyarakat Arab melalui diskriminasi dan isolasi bangsa Arab dari struktur kenegaraan Khilafah. Mereka dilarang untuk ikut beraktivitas dalam struktur pemerintahan, seperti dinas ketentaraan.
Muncul banyak kelompok orang-orang Arab pada saat itu, sebagai contoh adalah Persaudaraan Arab dan Arab Muda. Pada awalnya ketika kelompok-kelompok ini didirikan dengan bantuan orang-orang Eropa, hanya golongan Arab non-muslim saja yang tertarik untuk bergabung. Seiring berjalannya waktu, akhirnya orang-orang Arab Muslim juga terpengaruh dengan nasionalisme Arab. Hal ini semata-mata disebabkan oleh diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang Turki kepada orang-orang Arab.
Selain menggunakan kelompok-kelompok politik nasionalis, mereka juga menggunakan tokoh-tokoh kunci, seperti Syarif Husain dan putranya di Mekkah. Ia dibayar 200.000 pound sebulan oleh Kantor Urusan Luar Negeri Inggris melalui McMohan (Komisioner Tinggi Inggris), untuk menyebarkan ide-ide Nasionalisme dan kemerdekaan Arab dari Khilafah. Imbalan lainnya, tentu saja Inggris membantu Syarif Husain untuk menjadi penguasa Arab.
Hasil dari kebijakan politik Turki Muda ini ditambah dengan pengaruh Inggris terhadap Syarif Husain, maka terjadilah Revolusi Arab pada tahun 1916. Ini semua telah diatur Inggris dan aparat intelijennya. Bahkan bendera Revolusi Arab pun dipilihkan oleh Inggris dan sekarang dipakai oleh Palestinian Liberation Organization (PLO).
Agen intelijen Inggris TE. Lawrence menyebutkan dalan bukunya, Seven Pillars of Wisdom, sebagai berikut, “Sebelum saya tiba di tanah Hijaz, saya percaya benar bahwa gerakan nasionalisme Arab akan menjatuhkan Turki Utsmani.“
Inggris telah menghasut Arab dengan nasionalismenya agar melawan kekuasaan Turki. Impian mereka adalah mengalihkan loyalitas kaum muslimin Arab dari Sultan Utsmani kepada Syarif Husain. Secara lebih luas, visi mereka adalah mengubah dunia Arab menjadi lebih superior di bawah cengkraman Inggris. Selanjutnya, TE. Lawrence juga menyatakan, “Ambisi saya adalah bahwa negeri Arab menjadi jajahan kita yang pertama, tetapi bulan koloni berkulit coklat yang terakhir.”
Setelah revolusi Arab, Khilafah ‘Utsmaniyyah benar-benar hancur. Kaum kafir penjajah telah bersiap-siap hendak membelah negara Islam menjadi kepingan-kepingan wilayah yang kecil agar lebih mudah menguasainya.
Hal ini akhirnya terwujud dalam perjanjian Sykes-Picot. Sebuah perjanjian pembagian wilayah-wilayah Islam kepada kafir penjajah pasca kekalahan Turki pada perang dunia I. Jenderal Allenby dari Inggris ketika memasuki Al-Quds (Jerussalem) pada tahun 1917, bahkan mengatakan, “Hari ini, perang salib telah berakhir”.
Ketika Syarif Husain terlibat dalam perjanjian ini, dia meminta bantuan agar hal ini tidak dibicarakan di depan rakyatnya, karena hal ini akan menyebabkan rakyat akan meninggalkan Syarif Husain disebabkan pengkhianatan itu.
Setelah hancurnya Daulah Khilafah, semakin bertambah banyak lagi organisasi-organisasi sekular yang didirikan di tanah Arab. Menarik untuk diperhatikan, bahwa gerakan-gerakan ini juga didirikan oleh orang-orang non-muslim. Misalnya, ‘Partai Sosialis Arab Ba’ats’ (Partai Ba’ath) di Iraq didirikan oleh Michel Aflaq dan Zaki Al-Arsuzi. ‘Partai Nasionalis Sosial Suriah’ didirikan oleh Antoun Sa’ada, seorang Kristen Ortodoks keturunan Yunani. ‘Gerakan Nasionalis Arab’ didirikan oleh George Habash.
Semua gerakan nasionalis ini menjamin hubungan baik dengan salah satu Negara Eropa. Terkadang Inggris, terkadang Prancis. Gerakan-gerakan ini sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh negara-negara Eropa.
Perlahan tapi pasti, saat ini umat Islam sedang berusaha bangkit kembali dari tidurnya dan berusaha untuk melepaskan ikatan nasionalismenya, serta memulai mengikatkan dirinya terhadap Islam. []
Sumber:
Shabir Ahmed dan Abid Karim. 1997. Akar Nasionalisme di Dunia Islam. Penerbit Al-Izzah. Bangil.