Bagaimana Islam Memandang Sastra?
Hari ini, kita telah melihat bagaimana jurnalisme telah kehilangan taji-nya. Bungkam pada titik tertentu, namun lantang bersuara pada titik lainnya. Pandai bermain petak-umpat. Seno Gumira Ajidarma pernah berujar, “Jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”. Ya, itulah fungsi sastra!
Namun, apa yang kita bayangkan ketika mendengar tentang sastra? Bagaimana ketika sastra hanya dianggap sebagai seni yang justru menjauhkan manusia dari agama, menyingkirkan peran Sang Pencipta, dan membuat manusia lupa akan kemanusiaannya?
Padahal, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa sastra memiliki tujuan untuk memotivasi manusia. Sastra dapat menjadi media nasehat, pelajaran, dan ajakan untuk berpikir, yang disampaikan dengan bahasa yang menyentuh relung terdalam perasaan manusia.
Namun dewasa ini sastra justru hanya dipengaruhi oleh pandangan hidup yang menyelimuti umat manusia, yaitu sekularisme dan materialisme. Dua pandangan hidup ini menyebabkan sastra dijauhkan dari nilai-nilai spiritualisme agama. Kreativitas tanpa batas! Sastra harus independen dan boleh menyampaikan apa saja, termasuk hal-hal yang selama ini tabu dan terlarang dalam konsep keagamaan.
Konsep inilah yang meresahkan Kuntowijoyo, sehingga menelurkan ide sastra profetik sebagai bagian dari gagasan ilmu sosial profetik yang beliau gulirkan. Gagasan ini mengacu pada Surat Ali Imran ayat 110, dimana kaum muslimin diberikan gelar sebagai umat terbaik (the chosen people). Namun, gelar ini bukanlah sebuah mandat kosong sebagaimana yang dipahami konsep Yudaisme yang melahirkan rasialisme. Konsep umat terbaik dalam Islam harus diraih setelah kaum muslimin menyelesaikan tugas-tugasnya dalam bentuk kerja kemanusiaan menyampaikan rahmat bagi alam semesta (Khalifatullah). Konsep inilah yang harus dipahami oleh setiap kaum muslimin sehingga setiap gerak lakunya terhubung (transenden) dengan Allah Swt (idrak sillah Billah).
Sastra profetik adalah sebuah sastra yang mengajak manusia untuk dekat dengan Penciptanya. Sebuah sastra yang menyentuh relung terdalam perasaan manusia, bahwa dirinya adalah hamba yang harus menempuh perjalanan di dunia dengan berpedoman kepada Kalam Ilahi. Karena sesungguhnya ia akan kembali kepada-Nya.
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah
membetuli jalan tempat berpindah
di sanalah iktikad diperbetuli sudah
wahai muda kenali dirimu
ialah perahu tamsil tubuhmu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akhirat jua kekal diammu
(Syair Perahu; Syekh Hamzah Fansuri)
Sumber :
Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid. Yogyakarta: Mata Bangsa
Muhammad Ismail, 2014. Fikrul Islam; Bunga Rampai Pemikiran Islam. Bogor: Al Azhar Press