Bagaimana Potret Kehidupan Yahudi di Masa Kepemimpinan Islam?
Di masa Khilafah ‘Utsmaniyyah, masyarakat Yahudi yang berkomitmen sebagai warga negara Khilafah, dianggap sebagai kafir dzimmi, yakni orang-orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan umat Islam dan wajib dilindungi dengan membayar jizyah/cizye (pajak khusus penduduk non-muslim). Banyak dari mereka yang merupakan pelarian dari Kerajaan-Kerajaan Eropa yang diusir dan disiksa karena tingkah laku dan sentimen negatif terhadap agama mereka.
Selain karena statusnya sebagai negara adidaya, orang-orang Yahudi juga melihat Khilafah sebagai tempat bernaung karena kebebasan beragama mereka dijamin, termasuk di Yerusalem. Haram hukumnya jika darah sipil mereka tumpah. Untuk mengatur berbagai urusan non-muslim tersebut, Khilafah membentuk lembaga khusus yang disebut Millah (Millet – agama). Sehingga, meski sistem ekonomi, pergaulan, hingga hukum pidana negara Khilafah berasaskan Islam, hal itu tidak menjadi masalah bagi warga negaranya yang heterogen.
Berbagai urusan non-muslim itu kemudian diatur oleh pemimpin dari kalangan mereka yang secara khusus diangkat oleh khalifah. Pemimpin agama Nasrani disebut sebagai patriarch, sedangkan bagi Yahudi disebut Hakham Bashi (Pasya). Gelar Pasya ini menandakan, bahwa mereka merupakan pejabat publik resmi yang sangat dihormati.
Hakham Bashi bertanggung jawab atas urusan-urusan khusus Yahudi, seperti menentukan jumlah jizyah bagi kalangan mereka dan mengangkat pimpinan daerah masyarakat Yahudi. Otonomi keagamaan mereka pun sangat beragam, mencakup urusan administrasi, pengajaran, tempat ibadah, serta pelaksanaan syariat Yahudi dalam pernikahan, cerai, nafkah, hak sipil, dan wasiat.
Meski gerakan anti Yahudi terjadi secara masif di Eropa, namun hal yang sama tidaklah terjadi di wilayah ‘Utsmani. Sensus Khilafah pada 1840 terhadap sekitar 35.350.000 penduduknya bahkan menunjukkan, terdapat 150 ribu Yahudi yang menjadi penduduk resmi Khilafah. 70 ribu tersebar di Eropa dan 80 ribu di Asia.
Uniknya, setelah ratusan tahun bangsa Yahudi hidup di negara Khilafah, gagasan untuk membentuk negara sendiri justru baru muncul di abad ke-19, kala kolonialisme Eropa mencapai puncaknya dan secara masif mengintervensi berbagai urusan dalam negeri ‘Utsmaniyyah. Jika zionisme adalah gerakan nubuat keagamaan, seharusnya gema seruannya sudah digembar-gemborkan sejak dulu.
Sebagai bangsa defensif yang kecil, mereka tak mampu berbuat apapun jika tanpa dibantu oleh negara kuat lainnya, sebagaimana Inggris dan kemudian Amerika. Bagi negara-negara imperialis itu, isu Palestina tak hanya penting dalam mengakhiri Perang Salib (sebagaimana ucapan Jenderal Allenby kala mengunjungi makam al-Ayyubi), namun juga sebagai wadah dalam mempertahankan hegemoninya di Timur Tengah yang tidak hanya merupakan jantung dunia Islam, tapi juga sangat strategis dan kaya akan sumber daya alam.
Harus diakui, kehidupan damai di Palestina berakhir setelah ia lepas dari kekuasaan umat Islam. Jika dijumlahkan, periode kekuasaan Y4hud1 bahkan tak lebih dari 600 tahun dalam kurun waktu 5000 tahun sejarah Palestina. Masa penguasaan lebih lama justru dicatatkan umat Islam yang mencapai lebih dari 1100 tahun, yakni masa Khulafaur Rasyidin-Abbasiyyah (637-1096), Mamluk (1187-1517), dan ‘Utsmani (1517-1917). Selainnya dipergilirkan dengan bangsa Kanaan, Mesir, dan Romawi.
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
Adian Husaini. 2004. Pragmatisme dalam Politik Zionis Israel. Penerbit Khairul Bayan. Jakarta.
Dr. Kamal Sa’id Habib. 2001. Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.
Karen Armstrong. 2018. Yerusalem: Satu Kota Tiga Agama. Penerbit Mizan: Jakarta.
Mahir Ahmad Agha. 2005. Yahudi: Catatan Hitam Sejarah. Qisthi Press: Jakarta.
Seputar strategi Barat dan Yahudi dalam memecah kesatuan umat Islam dan menyebarkan ideologi-ideologinya yang mengubah dunia Islam hari ini (demokrasi, sekularisme, pluralisme, hingga nasionalisme) bisa dibaca juga di buku: Nicko Pandawa. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. Komunitas Literasi Islam: Bogor.