PemikiranPolitik

Jadi, Kita Seharusnya Memperjuangkan Sistem Negara yang Seperti Apa?

Share the idea

“…Ibrah bernegara menurut Islam adalah kepemimpinan yang shidiq, amanah, tabligh, fathanah dengan maqashid al syar’i.

Maqashid syar’i bernegara itu sama, tapi sistem berbeda-beda.

Bernegara dalam Islam yang penting substansi, bukan sistem-simboliknya.

Maka yang terpenting adalah maqashid syar’ie, bukan sistemnya…”

Demikianlah pokok ceramah Mahfud MD (MMD) di UGM yang kontroversial itu. Menurut beliau, yang terpenting dalam bernegara adalah tercapainya maqashid syariah, yakni tercapainya maksud/tujuan di balik adanya syariat Islam. Adapun untuk mencapai maqashid itu (yang jika dirinci memiliki tujuan untuk menjaga agama, jiwa, pikiran, harta, dan keturunan), boleh dicapai dengan sistem bernegara yang berbeda-beda.

Apa yang disampaikan MMD yang memang merupakan ahli hukum sekular, sebenarnya bahkan langsung dibantah oleh hadits Nabi, yang secara spesifik menunjukkan bagaimana cara mengurusi masalah negara pasca wafatnya Rasulullah,

“Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah

al-Khulafa’ al-Rasyidin yang diberi petunjuk (oleh Allah) setelahku, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Juga dalam hadits, Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, maka akan digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada khulafa’ yang banyak(HR Muslim)

Serta dalam hadits lima fase umat Islam yang sangat terkenal, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah… (HR Ahmad)

Para sahabat Nabi paham betul, bahwa jika Rasul wafat, tak ada lagi Nabi setelahnya. Maka otomatis, takkan ada lagi wahyu yang turun. Sehingga jika kaum muslimin ingin melanjutkan kehidupan Islam, mereka tidaklah mengangkat Nabi baru, atau bahkan mengaku sebagai Nabi. Mereka hanya harus mengikuti sistem kenegaraan yang dicontohkan Nabi, yang hukumnya jelas wajib.

Lantas, sistem kenegaraan yang dicontohkan oleh Nabi, itu yang seperti apa?

Jawabannya, ada pada hadits-hadits yang telah disebutkan di awal. Dalam hadits-hadits tersebut, Nabi bahkan secara jelas tidak menyebut penggantinya dengan sebutan yang lain, selain khalifah, yang bentuk jamaknya adalah khulafa’. Adapun institusi yang menggantikan Daulah Islam yang dipimpin Nabi, kemudian juga langsung disebut Nabi dengan istilah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah (Khilafah yang dibangun di atas metode kenabian).

Masa kepemimpinan Abu Bakar hingga al-Hasan, kemudian disebut sebagai al-Khulafa’ al-Rasyidin. Institusinya juga populer dengan sebutan Khilafah Rasyidah. Istilah Khilafah ini kemudian terus digunakan oleh para ulama dan kaum muslimin, meski kadang mengalami kesalahan dalam penerapannya, seperti di masa Khilafah Umayyah, ‘Abbasiyyah, dan ‘Utsmaniyyah.

Kesalahan penerapan tersebut, yang sebenarnya juga sudah diprediksi Nabi dalam hadits 5 fase umat Islam itu, bukan berarti tidak lagi menggunakan sistem khilafah.

Memang, di dalam hadits 5 fase umat Islam tersebut Rasulullah sedari awal sudah membedakan antara khilafah dan kekuasaan (mulk), yang dalam sejarah didominasi oleh dinasti dengan sistem putra mahkota. Walau begitu, menurut Ibn Khaldun, kekuasaan itu masih bisa disebut sebagai Khilafah, karena:

Ciri-ciri yang merupakan watak khas Khilafah tetap ada (pada dinasti-dinasti tersebut, pen.), yakni, prefensi terhadap Islam serta mazhab-mazhabnya, dan taat mengikuti jalan kebenaran…”. Apa yang dimaksud sebagai preferensi terhadap Islam itu, dapat kita lihat melalui pilar-pilar Khilafah itu sendiri, yakni kedaulatan di tangan Allah, kekuasaan di tangan umat, adanya satu Khalifah bagi seluruh dunia, serta Khalifah yang berwenang mengadopsi dan menetapkan peraturan berlandaskan syariat.

Dari berbagai penelaahan dalil, maka jelaslah. Bahwa dalam Islam, tidak ada sistem pemerintah lain yang disebutkan oleh dalil, selain Khilafah itu sendiri. Adapun sistem pemerintahan Republik, Demokrasi, dll yang diterapkan umat Islam saat ini, memang tidak berasal dari Islam dan tidak ada dalilnya.

Para sahabat Nabi, bahkan sangat memahami kewajiban menegakkan khilafah tersebut. Itulah mengapa, alih-alih memprioritaskan pemakaman jenazah Rasul, mereka justru menyegerakan pemilihan khalifah terlebih dulu. Padahal, mengurus jenazah adalah perkara yang harus disegerakan, apalagi terhadap jenazah Rasulullah yang mulia. Setelah Abu Bakar terpilih sebagai khalifah, para sahabat baru menuntaskan pengurusan jenazah Nabi tersebut.

Kok bisa? Para sahabat paham betul, bahwa umat Islam tidak boleh hidup tanpa adanya pemimpin tunggal yang memimpin segala urusan mereka. ‘Umar bin Khattab bahkan menetapkan, bahwa kosongnya jabatan khalifah atas umat Islam adalah 3 hari 2 malam. Tanpa adanya selisih pendapat di antara mayoritas sahabat, semua ini menjadi ijma’ sahabat yang kedudukannya juga dijadikan sumber hukum setelah al-Qur’an dan hadits.

Demikianlah ijma’ sahabat dalam perkara pemilihan Khalifah, yang sistemnya disebut Khilafah. Untuk menghadapi realita hidup yang belum pernah ditemukan hukumnya, mereka dan kaum muslimin yang terus menerapkan Khilafah di masa setelahnya, senantiasa melakukan ijtihad, dengan metode baku dan tetap bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sikap para sahabat juga menunjukkan, bahwa tidak harus ada Nabi dan wahyu baru untuk memimpin umat. Amanah itu diemban oleh para khalifah, yang bertugas untuk menjaga agama dan menjalankan kepemimpinan di dunia. Khalifah hanya pelaksana syariat.

Maka, mereka juga tidak membuat wahyu-wahyu baru. Khilafah bukan negara teokrasi, Khilafah adalah negara manusiawi. Khilafah juga bukan kenabian, namun bisa diterapkan di atas metode kenabian, sebagaimana istilah yang disebutkan Nabi dalam hadits di awal.

Khalifah sendiri adalah jabatan duniawi, bukan ukhrawi. Berbeda dengan Nabi yang diangkat oleh Allah, khalifah dibaiat oleh kaum muslimin kepada sosok yang mereka kehendaki.

Sebagai khalifah yang bukan Nabi dan melaksanakan sistem yang bukan teokrasi, seorang khalifah tidaklah ma’sum. Ia hanya manusia biasa yang bisa salah, bahkan bisa kalah di pengadilan.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka ijtihad masa kini yang memecah umat ke dalam berbagai sistem bernegara yang berbeda-beda dan tanpa pemimpin tunggal, tentu tidak dapat dibenarkan.

Jika bersatunya umat dalam satu sistem kepemimpinan ditolak karena dianggap ketinggalan zaman (antara abad ke-7 dan sekarang), hal itu tidak lantas membatalkan dalil syariah. Dalil itu digunakan untuk menghukumi fakta, bukan sebaliknya. Jika hukum syariah boleh ditetapkan berdasarkan fakta, niscaya Nabi takkan menunggu wahyu itu turun. Lagipula, bagaimana bisa kita mengaminkan argumentasi yang baru mendapat justifikasi setelah para intelektual muslim mengenyam pendidikan Barat, dan dirumuskan ketika umat Islam mengalami kemerosotan pemikiran yang sangat parah di abad ke-19 M? Sejak kapan modernisme (fakta) boleh menundukkan dalil?

Lantas, bagaimana dengan maqashid syariah? Perlu dipahami, bahwa maqashid yang merupakan maksud atau hikmah Allah di balik setiap hukum syariat (yakni menjaga agama, jiwa, pikiran, harta, dan keturunan), dalam pemahaman cendekiawan muslim yang sekular dan liberal, itu bisa dicapai tanpa menggunakan syariat.

Artinya, menurut mereka maqashid itu bisa diraih dengan menggunakan hukum-hukum sekular. Bahkan jika penerapan fikih dianggap menafikan maqashid, maka hukum fikih itu boleh diubah dan menyesuaikan dengan fakta.

Misalnya dalam hukum potong tangan. Dalam kacamata sekular, yang penting adalah tercapainya tujuan, yakni efek jera. Maka, hukum potong tangan yang didasarkan pada dalil qathi (dalil yang sudah jelas) itu, bisa diganti dengan hukuman penjara. Sebab, dua hukuman itu dianggap sama-sama bisa menimbulkan efek jera.

Padahal, dalam konsep maqashid syari’ah yang dikemukakan oleh Imam Syathibi (w. 1388 M, ulama mazhab Maliki yang hidup di Granada), tujuan-tujuan syariah hanya bisa diwujudkan dengan syariah saja, bukan melalui jalan lain.

Dalam skala negara (yang meliputi sistem persanksian, sistem ekonomi, sistem pergaulan, hingga sistem politik), semua itu ternyata hanya bisa diwujudkan melalui sistem Khilafah itu sendiri.

Sebab, Islam itu agama yang unik. Ia ternyata juga memiliki seperangkat aturan ideologis yang menjadi rambu bagi manusia untuk penyelesaian masalah kehidupannya. Maka, umat harus memahami Islam secara utuh, sebagai kesatuan tak terpisahkan yang tersusun dari fikrah (ide) dan thariqah (metode untuk melaksanakan, menyebarkan, atau menjaga ide itu). Contoh: Islam menerangkan bahwa zina hukumnya haram (fikrah). Namun, Islam tak sekedar menetapkan fikrah, tapi juga thariqah agar zina benar-benar dapat dicegah, misalnya melalui hukuman cambuk dan rajam bagi pezina. Ringkasnya, setiap ada suatu hukum yang ditetapkan, Islam juga menetapkan hukum lain yang khas sebagai metode pelaksanaannya.

Walhasil, dalam hukum potong tangan misalnya, tidak boleh diganti dengan sanksi lain, baik menimbulkan efek jera ataupun tidak. Lagipula, maqashid syariah adalah cabang syariah. Adapun syariah adalah pokok. Cabang tidak boleh membatalkan pokok. Sebaliknya, dalam konsep maqashid syariah yang digunakan cendekiawan liberal saat ini, ia dianggap dapat diwujudkan dengan hukum sekular, alias tanpa harus melalui syariah.[]

Sumber dan Rekomendasi Bacaan

BUKU:

Irfan Abu Naveed dan Yuana Ryan Tresna. 2019. Konsep Baku Khilafah Islamiyyah. Penerbit Quwwah: Yogyakarta.

Muhammad Choirul Anam. 2017. Cinta Indonesia, Rindu Khilafah. Alkifah Studios: Semarang.

Nicko Pandawa. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. Komunitas Literasi Islam: Bogor.

Yahya A.R (pen). 2006. Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi). Triple Zero Press: Jakarta.

MAJALAH:

Hafidz Abdurrahman. Benarkah Khilafah Bukan Satu-Satunya Sistem Pemerintahan dalam Islam? Majalah al-Wa’ie edisi Desember 2021.

Muhammad Shiddiq al-Jawi. Formalisasi Syariah Islam. Majalah al-Wa’ie edisi Mei 2009.

Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy. Kritik Terhadap Reaktualisasi Fikih. Majalah al-Wa’ie edisi Desember 2021.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *