Memahami Strategi Dakwah Sunan Gresik: Inisiator Dakwah Di Tanah Jawa
Konsep politik luar negeri dalam Khilafah adalah melalui dakwah dan jihad. Dengan semangat itulah, Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia, termasuk Nusantara.
Dengan Kesultanan Samudra (Sumatra) Pasai yang mendaulat dirinya sebagai darul Islam yang berbaiat kepada Khalifah ‘Abbasiyyah, Sumatra Pasai mengemban tugas untuk mengubah seluruh Asia Tenggara dari darul kufri menjadi darul Islam.
Kesultanan Sumatra Pasai kemudian banyak mengirim juru dakwahnya agar penguasa-penguasa Nusantara lain mau menerima Islam. Strateginya, adalah mendakwahkan Islam ke Jawa Timur, yakni langsung menembus jantung pemerintahan rezim yang mendominasi Nusantara saat itu: Kerajaan Majapahit.
Di sanalah Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, diutus langsung oleh Sumatera Pasai untuk mengislamkan tanah Jawa dan menginisiasi gerakan dari juru dakwah lain, yakni Wali Songo.

Walisongo merupakan kelompok dakwah yang sangat masyhur di tanah Jawa. Merekalah ulama-ulama yang pertama sekali menggarap dakwah secara serius dan terorganisir, yang meraih kesuksesan besar dengan masuk Islamnya para penguasa dan rakyat di Jawa secara berbondong-bondong pada abad ke-15.
Salah satu faktor yang menjadikan pengaruh mereka demikian luas adalah penetapan lokasi dakwah mereka yang menyasar di wilayah pusat kerajaan Majapahit: Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan berdakwah kepada rakyat dan penguasa Majapahit langsung di episentri kekuasaannya, dengan sendirinya dakwah tersebut juga akan terdengar sejauh wilayah Majapahit yang luas dominasinya mencapai banyak kepulauan di Asia Tenggara.
Memang, sebelum masa mereka, sudah ada kaum Muslim yang lahir di pusat dunia Islam di Timur Tengah yang bermukim di pulau Jawa. Sebagai bukti, adalah maujudnya makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maymun di Leran, sebuah desa dekat Surabaya, Jawa Timur. Fathimah wafat pada 475 Hijriah – yaitu 1082 Masehi, sebagaimana terpahat di inskripsinya yang bergaya Kufi.
“Hadza qabru al-mutawaqqiyyah li Fathimah binti Maymun bin Hibbatullah”: penyebutan nama Fathimah yang tiada menyebutkan makna sebagai juru dakwah mengindikasikan bahwa ia tidak menyaksikan usaha-usaha awal mengislamkan penduduk Jawa.
Makam Fathimah binti Maymun yang hidup di masa Khalifah al-Muqtadi Bi Amrillah al-‘Abbasi ini hanyalah menunjukkan bahwa sudah ada sejumlah orang Islam di Jawa, berupa keturunan orang pendatang.
Namun, gelagat yang berbeda dalam kehidupan Islam di pulau Jawa mulai tampak 450 tahun kemudian. Di Gresik –yang masih tidak jauh dari lokasi makam Fathimah binti Maymun, muncul seorang ‘alim dari pusat dunia Islam yang gencar melakukan aktivitas dakwah di kalangan masyarakat dan penguasa Majapahit.
Ia bernama Malik Ibrahim, yang kelak dikenal juga sebagai Sunan Gresik, salah seorang angkatan Walisongo yang paling awal.
Mengenai hakikat Walisongo sendiri, meski mereka amat termasyhur, namun banyak kabar mengenai mereka yang masih simpang siur.
Definisi Walisongo pun masih banyak diperdebatkan. Kata songo adalah nama angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, sehingga Walisongo kerap diartikan sebagai sembilan wali. Padahal, kalau dihitung satu per satu keseluruhan mereka bukanlah berjumlah sembilan.
Maka ada yang menyebut makna asli songo adalah tsana’ (terpuji), jadi Walisongo adalah wali yang terpuji. Ada pula yang mengartikan kata songo dengan satu kata bahasa Jawa kuno: sana, yang artinya tempat, daerah, atau wilayah; sehingga dengan pengertian ini Walisongo adalah seorang wali (penguasa setingkat gubernur) suatu wilayah.
Munculnya interpretasi yang berbeda-beda ini bisa dimaklumi. Penyebutan para penyebar Islam di Jawa sepanjang abad ke-15 yang kerap diidentikkan sebagai Walisongo, baru dikenal dengan istilah “Walisongo” itu sendiri ratusan tahun kemudian, tepatnya pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kesultanan Mataram yang berkuasa pada tahun 1613 sampai 1645.
Selama masa hidup mereka di abad ke-15, justru para “Walisongo” itu lebih dikenal dengan gelar-gelar berbahasa Arab dan sebutan-sebutan masyarakat setempat yang bukan “Walisongo”.
Hal ini akan kita dapati jika kita mengamati sumber-sumber yang dibuat sezaman dengan masa hidup para “Walisongo” itu, bukan sumber-sumber sejarah yang dibuat ratusan tahun setelah mereka hidup. Salah satu sumber yang terkuat nilai historisnya adalah inskripsi-inskripsi yang terpahat di makam para wali.
Di antara makam-makam tersebut, yang masih tersisa dan terbaca dengan jelas adalah makam Malik ‘Ibrahim alias Sunan Gresik. Melalui pembacaan pada makam Malik ‘Ibrahim, kita bisa lebih jelas mengenal hakikat para pengemban dakwah terawal di tanah Jawa. Berkat peran mereka-lah, penduduk pulau ini beserta hampir seluruh gugus kepulauan di Asia Tenggara menjadi kaum yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang kokoh dan mantap…. BERSAMBUNG ke artikel “Jejak Khilafah di Nusantara: Menafsirkan Rahasia Hidup dan Dakwah Sunan Gresik” di instagram dan website @komunitasliterasiislam
