Siapakah yang Layak Menjadi Presiden Umat Islam?
Bayangkan. Dari berbagai pemimpin ini, kira-kira sosok manakah yang akan diba’iat dan mendapatkan loyalitas kaum muslimin sedunia untuk ditaati?
Jawabannya, ternyata belum ada.
Kenapa?
Sebagai sebuah agama sempurna yang menyelesaikan berbagai problematika kehidupan, termasuk di antaranya mengatur urusan ideologi maupun sistem bernegara, Islam ternyata telah memberikan rambu-rambu dalam memilih pemimpin – yang dalam Islam, pemimpin tunggal bagi seluruh kaum muslimin sedunia, kemudian disebut sebagai khalifah. Bukan Presiden, bukan pula Perdana Menteri.
Seorang khalifah, yang didefinisikan sebagai “pengganti Nabi Muhammad dalam urusan dunia dan agama yang menerapkan syariat Islam di kehidupan bernegara”, tentu saja tak hanya menjadi pemimpin agama, namun juga pemimpin politik umat. Walhasil, sosok khalifah juga tak bisa disamakan dengan jabatan sejenis Paus yang hanya menjadi pemimpin agama bagi para pemeluknya.
Untuk menjadi khalifah, calon khalifah haruslah dibaiat oleh umat. Sebab dalam Islam, kekuasaan adalah milik umat, dan kedaulatan adalah milik Allah. Pasca baiat, ia menjadi sosok yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah. Baiat itulah yang telah memberinya kekuasaan dan menjadikan umat wajib menaatinya.
Karena khalifah tidak hanya menjadi pemimpin agama, melainkan juga pemimpin negara, maka sosoknya sangat berwenang dalam berbagai urusan pemerintahan, baik yang terkait politik luar maupun dalam negeri. Seperti mengumumkan perang, memegang kepemimpinan atas angkatan bersenjata, mengadakan perjanjian, gencatan senjata, menerima dan menolak duta negara asing, mengangkat dan memberhentikan duta kaum muslim, mengangkat wali (jabatan setara gubernur provinsi), mengangkat qadhi (hakim), panglima militer (amirul jihad), menetapkan undang-undang (sebagai bentuk adopsi atas hukum-hukum syariah yang mengikat dan wajib ditaati oleh seluruh rakyat) maupun menetapkan rincian APBN.
Praktik-praktik ini, ternyata sudah ada sejak masa Rasulullah maupun para Khulafaur Rasyidin – yang dijadikan bagian dari sumber dalil yang empat: al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ sahabat, maupun qiyas. Beberapa contohnya adalah saat Rasul mengangkat Usamah bin Zaid sebagai komandan detasemen ke Syam, pemberhentian Khalid bin Walid oleh Khalifah ‘Umar, pengumuman perang atas Yahudi Khaibar, pengiriman utusan kepada Heraklius dan Kisra, dan penunjukan Mu’adz bin Jabal sebagai wali di Yaman.
Pemahaman terkait definisi, wewenang, metode pengangkatan, maupun syarat-syarat seorang khalifah inilah yang dapat memudahkan kita dalam melakukan pembacaan terhadap sejarah umat Islam – yang tentu saja menunjukkan realita atas pelaksanaan khilafah, bukan sebagai sumber hukum.
Gambar kiri: Terjemahan surat Sultan ‘Alauddin Manshur Syah (Sultan Aceh ke-29, k.1838-1870) kepada Khalifah ‘Abdul Majid I (Sultan ‘Utsmaniyyah ke-31, k. 1839-1861). Surat yang dilampirkan di buku “Dafatir Sulthaniyah” itu mengungkap bahwa setiap negeri di pulau Sumatera memiliki seorang gubernur (wali) yang ditunjuk oleh Khilafah ‘Utsmaniyyah. Para wali itu kemudian digelari dengan sultan dan raja.
Gambar kanan: poster seruan Khilafah ‘Utsmaniyyah kepada seluruh kaum muslimin untuk mendukung Khilafah dalam Perang Dunia I (1914). Poster ini juga dibahas dalam buku terbitan @kli.books, “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda” (KKPB) hal. 316 (cet. 2-3) dan 277 (cet. 1)
Dari berbagai tugas tersebut, pengadopsian atas hukum-hukum syariah, adalah faktor penting yang membedakan antara khalifah dengan pejabat negara dalam sistem lainnya. Sebab, hukum syariah yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengaturan masyarakat, bukan hanya banyak, tapi juga unik. Ia mencakup pengadopsian atas sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem peradilan, sistem pendidikan, bahkan sistem pemerintahan itu sendiri.
Dengan berbagai amanah itu, lantas sosok seperti apa yang layak menjadi khalifah?
Ternyata, syarat-syaratnya tidak sulit diingat. Selain mengenai wewenang khalifah, Syekh Atho’ bin Khalil menyampaikan dalam kitab “Ajhizatu Daulatil Khilafah fil Hukmi wal Idarah” (Struktur Negara Khilafah; Pemerintahan dan Administrasi), bahwa khalifah haruslah: seorang muslim (QS an-Nisa: 41), laki-laki (HR. Bukhari dari Abi Bakrah), balig – berakal (syarat dikenakannya beban/taklif hukum, yang menjadi syarat sahnya tindakan hukum), adil (QS at-Thalaq: 2), merdeka, dan mampu – yang mana syarat-syarat tersebut adalah syarat legalitas yang mutlak harus ada pada diri khalifah. Adapun kriteria seperti keturunan Quraisy, mujtahid, maupun ahli dalam menggunakan senjata, hanyalah syarat keutamaan yang jika digali secara dalil, tidak mengandung tuntutan yang tegas.
Walhasil, sebaik apapun kemampuan leadership-nya, seorang khalifah bukanlah perempuan. Bukan pula seorang kafir dan bocah. Pun jika seorang khalifah tiba-tiba mengalami mental illness dan kehilangan akal sehatnya, maka ia sudah tak layak menjadi seorang khalifah dan patut dimakzulkan.
Adapun adil, adalah sosok yang tidak menunjukkan sifat kefasikan (senantiasa melakukan keharaman). Ia dikenal sebagai pribadi yang “lurus”, yakni yang senantiasa istiqomah mengikatkan diri pada syariat.
Sosok ini bukan berarti terlepas dari dosa. Seorang khalifah juga manusia yang bisa lupa, tidak sengaja, maupun keliru. Kemaksiatannya bukanlah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang, apalagi dilakukan secara terang-terangan.
Jika syarat ini dihubungkan dengan tugas khalifah dalam mengadopsi hukum syara’ dan menetapkan UU yang wajib dipatuhi oleh kaum muslimin, maka sifat adil ini menjadi sangat penting. Sebab, khalifah adalah “kiblat” ketaatan umat, sedangkan umat tidak boleh bersikap taat dalam kemaksiatan, terlebih jika kemaksiatannya dilakukan dalam skala negara.
Yang tak kalah penting, sosok khalifah haruslah merdeka, yakni bebasan dalam melakukan tindakan hukum. Inilah yang tidak terjadi pada budak, orang yang dipenjara, hingga orang yang disandera – baik disandera oleh negara asing, kroni, cukong, maupun parpol pendukungnya. Mereka adalah sosok yang tidak merdeka, karena tindakan hukumnya tidak independen.
Jika sosok seperti ini menjadi pemimpin, sejatinya mereka hanyalah pemimpin boneka: lemah dan tak berdaya. Rasul menyebutnya ruwaibidhoh, yakni “ar-rajulu at-tafih ya’ra syu’una al-’ammah” (orang bodoh yang mengurus urusan orang banyak). Boneka seperti ini tak layak menjadi pemimpin. Sebab, pemimpin meniscayakan leadership. Ibarat kereta, dialah yang menarik gerbong. Bukan ditarik oleh gerbong.
Saking pentingnya syarat ini, Nabi pernah menolak ketika Abu Dzar meminta amanah kepemimpinan, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu orang yang lemah. Kepemimpinan itu bisa menjadi kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat.”
Syarat ini, bisa sangat berhubungan dengan kriteria mampu. Sebab, khalifah bukanlah sosok lemah yan tidak mampu menjalankan amanah dan mengurusi (ri’ayah) urusan umat berdasarkan al-Qur’an dan as-sunnah. Adapun terkait kelemahan yang tidak boleh ada pada diri khalifah, “Mahkamah Mazhalim” adalah lembaga yang bertugas menetapkannya.
Jika syarat-syarat tersebut ternyata sudah ada pada sosok tertentu, maka aspek terpenting dari semua ini adalah: apakah orang baik itu juga punya kemauan untuk menerapkan sistem yang juga baik?[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Da’ur. 2004. Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor
Atho’ bin Khalil. 2006. Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi).
KH. Hafidz Abdurrahman, MA. 2017. Kebijakan Agung Khilafah Islamiyah Jilid 1. Al-Azhar Fresh Zone Publishing: Bogor.