Membaca Strategi Turki Di Balik Pembukaan Masjid Hagia Sophia
Pengembalian Hagia Sophia sebagai Masjid, tentu saja membuat muslim seluruh dunia bergembira. Sebagai simbol kemenangan atas Konstantinopel, peristiwa tersebut juga diharapkan menjadi simbol kebangkitan umat dan melanjutkan kembali kemenangan kaum muslim mengikuti jejak Muhammad Al-Fatih.
Di sisi lain, langkah ini mengundang sejumlah analisis. Yang paling populer adalah, bahwa hal tersebut merupakan upaya politis Presiden Erdogan untuk mengonsolidasikan pemilihnya di saat popularitasnya terus merosot akibat rangkaian masalah pelik di Turki: resesi ekonomi, pelemahan nilai mata uang, inflasi, peningkatan pengangguran, dilema hubungan luar negeri, hingga kasus korupsi besar beberapa menterinya.
Berbagai masalah itu menyebabkan beliau harus mengubah strategi politiknya, termasuk memperketat sensor media di Turki. Warga Istanbul yang dulu setia mendukung Erdogan, kini mulai ragu untuk mendukung AKP di pemilu. Akibatnya, partai AKP kalah dalam pilkada di Ankara, Istanbul, dan kota utama lainnya di tahun 2019. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, Erdogan berada di puncak popularitas karena berhasil membangkitkan ekonomi Turki.
Hal ini tentu menjadi masalah besar bagi AKP, mengingat betapa strategisnya Istanbul bagi keberlangsungan partai politik di Turki. Dengan lebih dari 15 juta penduduk yang dihuni dari berbagai suku, agama, dan asal negara, kota ini menjadi kunci utama untuk menarik perhatian warga Turki yang jumlahnya menembus 82 juta jiwa.
Beberapa perusahaan multinasional beraset miliaran dolar AS juga lebih senang bertengger di Istanbul. Jika Istanbul lebih kondusif, maka investasi juga masuk lebih deras, ekonomi tumbuh lebih baik, dan politikus yang menjabat akan disanjung-sanjung.
Rekam jejak Erdogan menunjukkan bahwa beliau adalah tokoh yang memang mampu memanfaatkan potensi dari kebesaran kota tersebut. Maka sangat wajar, jika Presiden Erdogan mengadopsi strategi pencitraan politik di tengah situasi sulit seperti itu.
Bagaimanapun, isu identitas dan agama hampir selalu menyentuh wilayah croc brain manusia dan selalu direspon dengan pendekatan emosional daripada rasional. Hal ini semakin sukses, kala dikombinasikan dengan memori kejayaan Ottoman yang berhasil menyentuh mayoritas masyarakat Turki.
Selain itu, isu ini juga menjadi soft diplomacy dalam menggalang dukungan dan simpati negeri-negeri muslim. Erdogan telah menyatakan bahwa Hagia Sophia adalah awal dari pembebasan Al-Aqsha: sekali lagi Turki memberi sinyal positif kepada negeri-negeri muslim di tengah berbagai krisis dan konflik seperti isu Palestina, Suriah, Kashmir, Rohingya, Pattani, Yaman, dkk.
Dari sisi pariwisata, sebenarnya Hagia Sophia memberikan pemasukan yang lumayan besar dengan catatan jumlah pengunjung mencapai 31 juta orang (2007-2018). Jika dikembalikan menjadi masjid, apakah pemasukan Hagia Sophia berhenti?
Nampaknya, pemerintah Turki mencoba menangkap potensi wisata halal bagi wisatawan muslim yang pendapatan globalnya mencapai 226 miliar dolar AS (tahun 2017). Ditambah eksistensi warisan agama dan sejarah Dinasti Ottoman, maka Turki dapat menarik wisawatan Muslim untuk datang mengunjungi Turki dan semakin menggenjot sektor pariwisatanya.
PERUBAHAN HAGIA SOPHIA = KEBANGKITAN KHILAFAH?
Gercek Hayat, majalah berhaluan Islamis milik kelompok media Yeni Safak yang pro-pemerintah, menampilkan bendera kekhalifahan warna merah khas Ottoman di sampulnya dan bertanya dalam bahasa Turki, Arab, dan Inggris, “Berkumpul untuk kekhalifahan. Jika tidak sekarang, kapan? Jika bukan Anda, siapa?“.
Di luar dugaan, sampul itu direspon keras oleh juru bicara Partai AKP, Omer Celik. “Republik Turki adalah negara demokratis, sekular dan sosial yang diatur oleh aturan hukum.”
Kemal Ozer (editor Gercek Hayat) mengatakan dalam serangkaian tweet bahwa kekhalifahan adalah persatuan umat Islam dan bukan lawan Republik Turki. “Sebaliknya, ini adalah tanah yang akan memperkuat Turki,“ katanya. “Mengapa mereka yang menolak Uni Islam berjuang untuk menjadikan Turki bagian dari Uni Eropa?.“
Namun, jajak pendapat tahun 2019 justru menunjukkan bahwa mayoritas warga Turki tidak terlalu bersemangat tentang kemungkinan kembalinya kekhalifahan. Hampir 59 persen dari 2.500 warga di 12 provinsi mengatakan penghapusan kekhalifahan adalah keputusan yang bagus.
Selama pemerintahannya, Erdogan memang menampakkan diri sebagai oposisi dari tokoh sekular Mustafa Kemal Ataturk. Erdogan terlihat berhasil menghidupkan nuansa keislaman di Turki setelah bertahun-tahun dihapuskan oleh penguasa sekular. Namun, hal ini bukan berarti Erdogan mendukung kebangkitan khilafah. Karena, bagaimanapun Erdogan turut memperjuangkan demokrasi sebagai “ekspor Barat paling mematikan”. The New York Times bahkan menyebut Turki sebagai “negara demokrasi yang kuat” sebagai harapan berseminya demokrasi seiring Arab Springs.
Saat Erdogan pertama membuat AKP dengan membelah partai milik gurunya Necmettin Erbakan pada 2001, ia menawarkan ideologi moderat yang diklaim berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Ia pun menyatakan bahwa AKP bukan partai Islam, tetapi anggotanya adalah muslim yang moderat. Dia berjanji akan membangun hubungan baik terhadap semua suku, ras, dan agama, serta mengikuti semua konsensus yang dibuat oleh organisasi internasional.
Pernyataan tersebut direspon positif oleh masyarakat Turki. Di saat persaingan kalangan berlabel Islam dan sekular semakin memanas, masyarakat lebih ingin pemerintah terpilih meninggalkan perdebatan kontra produktif dan fokus pada pembangunan ekonomi. Apalagi saat itu Turki baru saja melewati krisis. Ekonomi Turki turun 3,3 persen pada 1999 dan merosot 5,7 persen pada 2001.
Dengan kepemimpinan Erdogan, Turki menjadi negara “panutan” bagi negeri muslim lainnya, yakni sebagai negara berpenduduk muslim yang moderat dan demokratis yang mampu membangun ekonomi. Erdogan membawa Islam sebagai nuansa dan nilai-nilai semata, tidak menjadikannya ideologi yang ia gunakan dalam menjalankan pemerintahannya. Tentu saja, Erdogan tidak bertujuan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam di bawah naungan khilafah.
HAGIA SOPHIA SIMBOL KEBANGKITAN MUSLIM?
Perubahan Hagia Sophia menjadi masjid yang dilakukan Muhammad Al-Fatih dan Erdogan tentu memiliki makna berbeda. Karena kemenangan sejati Muhammad Al-Fatih bukanlah Hagia Sophia, melainkan terwujudnya bisyarah Rasulullah dan tersebarnya risalah Islam ke tanah Konstantinopel.
Perubahan Hagia Sophia menjadi masjid merupakan simbol Muhammad Al-Fatih untuk menegakkan Islam di Konstantinopel. Adapun hari ini, perubahan Hagia Sophia menjadi alat politik Turki saja, dan tidak memberi simbol apapun terhadap tegaknya kekuasaan Islam yang menerapkan aturan Allah.
Peristiwa besar ini tentu harus disyukuri. Hal ini juga menunjukkan betapa besarnya kerinduan umat kepada Islam. Namun, kita tak boleh berpuas diri dan terjebak atas euforia romantisme masa lalu. Sesungguhnya aturan Allah yang perlu ditegakkan selain shalat masihlah banyak.
Meski shalat telah ditegakkan di masjid-masjid, namun belum menjadikan kaum muslim bangkit. Hal ini sekaligus menjadi gambaran sempurna, bahwa sekularisme sesungguhnya hanya mampu menghidupkan aktivitas ibadah ruhiyah namun tetap menjauhkan Islam dari kehidupan dunia dan negara.
Terbebas dari sekularisme bukan ditandai dengan banyaknya masjid, dikenakannya pakaian islami, atau bebasnya adzan berbahasa arab saja. Hakikat terbebas dari sekularisme artinya menerapkan Islam dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, dari memilih pemimpin keluarga hingga memilih pemimpin negara.
Artinya, pemerintahan yang bebas dari sekularisme haruslah berbentuk pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam adalah Khilafah: bukan kerajaan, bukan republik, bukan pula federasi. Ekonomi bebas sekularisme pun harus terlepas dari riba, bahkan pengaturan SDA negara pun menggunakan aturan Islam. Demikian pula bidang pendidikan, hukum, pergaulan, dll yang menggunakan hukum Islam secara kaffah tanpa dicampuri oleh hukum-hukum kufur.
Perubahan Hagia Sophia bukanlah kebangkitan hakiki bagi umat, karena tidak menyelesaikan keterpurukan umat akibat hilangnya politik Islam.
Maka sebagai pengemban dakwah yang berusaha melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah, tentu kita harus menjadi negarawan yang mampu melihat problematika umat saat ini sebagai buah kerusakan sistemik akibat hilangnya institusi politik Islam. Bukan semata kerusakan parsial, sehingga kita tidak akan terjebak dalam upaya perubahan yang tambal sulam dan parsial, apalagi melalui jalan perubahan yang bertentangan dengan paradigma Islam.
Kebangkitan hakiki ialah ketika kedaulatan Islam kembali ke tengah-tengah kaum muslim, sehingga kita tidak hanya menghidupkan Islam di masjid-masjid saja. Tapi juga menerapkan Islam dalam pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya.[]
Sumber:
https://www.alinea.id/dunia/partai-erdogan-derita-kekalahan-besar-dalam-pilkada-turki-b1Xem9iKN
https://rmol.id/read/2020/07/12/443167/makna-politik-di-balik-keputusan-hagia-sophia-sebagai-masjid.