Sejarah

Hidup Mulia Atau Mati Syahid!

Share the idea

Catatan Safar Pegiat KLI di Aceh

لو كانت الدنيا تدوم لأهلها لكان رسول الله حيا و باقيا

“Sekiranya dunia ini abadi untuk penduduknya, maka tentulah Rasulullah masih hidup dan maujud adanya.”

Mengamati epitaf yang tertera di nisan Tengku Chik di Bitay, ulama yang diyakini berasal dari Baytul Maqdis. Kompleks makam Gampong Bitay, Banda Aceh.

Demikian sebaris kalimat yang terpahat di nisan Tengku Chik di Bitay. Sebuah kalimat yang lugas, bahwa dunia ini tidak abadi. Ada masa jaya, ada masa kelam. Dan terus begitu berputar sampai sangkakala tertiup.

Namun beruntunglah kita sebagai kaum Muslimin, karena tetap ditemani Rasulullah dengan wejangannya yang abadi, walau fisiknya tiada menemani.

Mungkin semangat itulah yang berbekas pada alam pikir leluhur kita di Aceh Darussalam. Ajaran Islam yang tidak memedulikan dari mana nation-mu, begitu diserap almarhum Tengku Chik di Bitay, seorang yang berasal dari Baytul Maqdis, Palestina, yang makamnya dikelilingi jasad-jasad yang berasal dari berbagai bangsa.

Ada sekitar 20 makam di sekeliling pusara Tengku Chik di Bitay yang diisi oleh para mujahid dan masyayikh yang berasal dari Palestina dan Turki, yang kesemuanya dikirim oleh otoritas Khilafah Utsmani.

Semuanya bisa kita dapatkan di Gampong Bitay, Banda Aceh. Semangat solidaritas ummah yang tercermin dari kompleks makam bersahaja itu terus membekas di sanubari penduduknya.

Falsafah hidup mereka tercermin dari sejuta aksara yang tertulis di makam-makam antik itu, yang mengajarkan bahwa engkau hanya tamu di dunia ini! Kita punya tempat peristirahatan yang sejati, darul-akhirah! Mana bekalmu untuk ke sana?!

Berbincang dengan ibu Azimah, penjaga makam Turki di Gampong Bitay. Menurut pengakuannya, Ibu Azimah sendiri adalah keturunan ke-20 dari orang Utsmani yang menikah dengan warga Aceh saat mendarat di sini dulu pada abad ke-16.

Muslimin di Aceh begitu paham akan nasihat menohok yang mereka baca di makam-makam leluhurnya. Maka tak heran beratus tahun berikutnya, Teuku Umar (w. 1899) berorasi lantang di hadapan para ghazi Aceh dengan kalimatnya yang menyentak, “udep saree, matee sjahid!”, “hidup mulia, atau mati syahid!”

Membaca epitaf di makam Sultan ‘Ala’uddin
Manshur Syah di Banda Aceh.

“Hidup mulia”, tak peduli betapapun cobaannya, harus kita hadapi dengan syariat di depan mata. Walau peluru api termuntahkan dari mesin perang kafir Belanda, kita hadapi dengan semangat meraih jannah. “Mati syahid”, itulah cita yang mulia, karena membela negeri dengan bekal agama, bukan justru menjual agama demi negara yang fana.

Quote terkenal yang terucap dari lisan Teuku Umar, “udeep saree, matee sjahid!”, “Hidup mulia, atau mati syahid!”

Sejarah moyang kita yang sholeh sudah mengajarkan itu semua. Maktub.

Maka mau kemana lagi kita akan melangkah?

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *