SejarahUlasan Buku

Ketika Snouck Hurgronje Menyabotase Surat Untuk Khilafah

Share the idea

Siapa nama pahlawan yang terpikirkan ketika kita berbicara tentang perjuangan rakyat Aceh selama masa penjajahan Belanda? Cut Nyak Dien? Teuku Umar? Tentu saja, tidak sesedikit itu.

Izinkan kami untuk memperkenalkan sosok hebat yang kontribusinya begitu luar biasa. Tak lain dan tak bukan, adalah Sultan terakhir Kesultanan Aceh: Sultan ‘Alauddin Muhammad Dawud Syah (k. 1875-1903)

Sosok beliau inilah yang juga dimasukkan dalam cover buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda”, berada di sebelah Tjokroaminoto.

Enam tahun sebelum kekuasannya berakhir, di masa ketika para petinggi dan rakyat kesultanan Aceh masih mengobarkan perlawanan sengit kepada Belanda, mereka mencoba memupuk harapannya kepada Sultan Abdülhamid II.

Sultan Dawud bersama para petinggi kesultanan seperti Tuanku Hasyim Bangta Muda, kemudian menandatangani sebuah surat tertanggal 21 Juni 1897. Surat itu mereka layangkan kepada seorang Konsul ‘Utsmani yang baru bertugas di Batavia bernama Mehmet Kamil Bey, dimana para petinggi kesultanan Aceh sudah banyak mendengar hal-hal baik mengenai dirinya.

Mereka menunjuk seorang Arab untuk mengantarkan surat mereka kepada Mehmet Kamil Bey di Batavia. Ternyata, orang Arab ini nyasar dan menempuh rute yang menyesatkan selama berbulan-bulan di laut, dengan perjalanan yang berputar-putar antara Madura, Maluku, dan Borneo.

Setelah tiba di kantor konsulat Khilafah ‘Utsmaniyyah di daerah Pegangsaan, Menteng, ia meminta Mehmet Kamil Bey agar bersumpah bahwa dia adalah seorang Muslim dan ia benar-benar seorang konsul yang ditunjuk Sultan Abdülhamid II. Kemudian, orang Arab ini memberikan surat Sultan Aceh kepadanya.

Di dalam suratnya, Sultan Muhammad Dawud Syah mendedahkan bahwa hamba lemah dan semua wazir hamba lemah, demikian pula semua rakyat hamba yang beriman yang menderita musibah berat di negeri Aceh.

Kepada sang Khalifah, beliau mengadukan perbuatan Belanda yang telah memaklumkan perang tanpa keadilan, yang begitu kejinya sehingga perbuatan mereka memuakkan arwah-arwah” dan “membuat anak-anak beruban.”

Sebagaimana surat-surat yang Aceh layangkan dari zaman Sultan Ibrahim Manshur Syah setengah abad sebelumnya, Sultan Muhammad Dawud Syah mengajukan bukti-bukti hubungan diplomatik antara kesultanan Aceh dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah yang sudah terjalin dari zaman Sultan Selim II pada abad ke-16.

Tak hanya mengadukan kedzaliman Belanda. Pada kesempatan ini Sultan Muhammad Dawud Syah mengultimatum Sultan Abdülhamid II: kalau saja pertolongan dari Istanbul tak kunjung datang, maka Sultan Aceh “bebas dari tanggungjawab” karena sejatinya mereka “berada di bawah panji kekuasaan Bani Utsmaniyyah”.

Karena itu, Sultan Aceh “mengancam” bahwa sang Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban “pada Hari Kiamat”, karena telah “melalaikan kepentingan kaum Muslim yang telah meringkuk di bawah tangan kaum penindas dan juga melalaikan agama Allah serta syariat Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Di akhir surat, Sultan Dawud Syah kembali memohon bantuan Istanbul sembari mendoakan, “Semoga Allah menjadikan Khilafah tetap abadi selama dunia ini tetap berputar. Aamiin…”

Setelah membaca surat tersebut, Mehmet Kamil Bey menitipkan dua surat balasan dalam bahasa Arab untuk Sultan Aceh kepada si pembawa surat yang hendak kembali melalui Singapura. Surat pertama merupakan transliterasi surat Sultan Dawud Syah ke dalam bahasa Arab yang diterjemahkan oleh penerjemah kantor konsulat ‘Utsmaniyyah di Batavia, ‘Ali b. Syihab.

Surat yang kedua adalah catatan dari Kamil Bey untuk pihak Sultan Aceh agar mereka mengirim dua tokoh Aceh yang “cerdas serta berbudi bahasa baik, bijaksana, dan fasih untuk mengurus segala sesuatu” untuk didelegasikan ke ibukota Khilafah ‘Utsmaniyyah guna menghadap Sultan Abdülhamid II.  Dua tokoh ini harus dihadapkan terlebih dahulu ke Kamil Bey di Batavia sebelum diberangkatkan ke Istanbul.

Sayangnya, takdir berkata lain. Meski tinggal selangkah lagi utusan Aceh dapat menghadap Khalifah di Istanbul, semua itu harus gagal akibat ulah penjajah.

Adalah Snouck Hurgronje, sang kafir Belanda yang  pada 1889 (masih di masa kekuasaan Sultan Dawud) pergi ke Aceh untuk meneliti masyarakat di sana, dengan berpura-pura menjadi utusan spesial dari Pemerintahan ‘Utsmaniyyah. Namanya kemudian masyhur dan dipercaya oleh banyak orang terkemuka Aceh, termasuk ulama-ulamanya, sebagai seorang Muslim utusan Khalifah.

Celakanya, orang Arab yang menjadi pengantar surat dari Sultan Aceh yang juga Kamil Bey titipkan dokumen balasan kepadanya, ternyata kenal baik dengan Snouck Hurgronje. Dengan polosnya, orang ini memberikan dokumen-dokumen dari Mehmet Kamil Bey kepada Snouck sembari berpesan agar jangan sampai disiarkan kepada siapapun. Mungkin si pembawa surat ini belum mengetahui kalau Snouck sejatinya adalah orang Belanda yang bekerja kepada Pemerintah Kolonial dan malah mengiranya sebagai teman Kamil Bey.

Tentu saja, Snouck tidak menuruti kemauan si pengantar surat yang polos. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, Snouck segera membocorkan isi surat tersebut kepada Gubernur Jenderal Van der Wijck pada 13 Maret 1898.

Maka setelah surat balasan Kamil Bey disabotase oleh Snouck, Sultan Dawud Syah yang menunggu di Aceh, lagi-lagi tidak mendapat kejelasan….

Kisah perjuangan rakyat Aceh dalam melawan Belanda tentu saja tak sebatas pada nama Cut Nyak Dien dan Teuku Umar.

Simak gambaran kondisi politik saat itu ketika Kesultanan Aceh terus menggelorakan jihad melawan penjajah dalam buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda” karya Nicko Pandawa. Lengkap dengan arsip dan catatan kaki sebagai hasil penelitiannya. Untuk pembelian, klik link berikut http://bit.ly/BukuKLI1

Selamat membaca!

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *