PemikiranPolitikSejarah

Siasat Politik Tjokroaminoto Melawan Penghina Nabi

Share the idea

“Pengemban dakwah tidak akan memihak suatu bangsa manapun, ataupun bersikap kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan beratnya menghadapi masyarakat dan para penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan mereka, tidak berbasa-basi atau bermanis muka. Namun demikian mereka tetap berpegang teguh pada Ideologi tanpa memperhitungkan untung-rugi, kecuali Ideologi itu sendiri.”

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya yang berjudul, “Mafahim Hizbut Tahrir”.

Tahun 1918 terjadi peristiwa Djawi Hisworo yang begitu menghebohkan Umat Islam kala itu. Harian Djawi Hisworo, sebuah harian di Solo menerbitkan artikel buah karya Marthodharsono dan Djojodikromo yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo”. Tulisan kontroversional  tertanggal 11 Januari 1918 tersebut berisikan penghinaan kepada Nabi Muhammad, dengan mengatakan bahwa Nabi adalah seorang pemabuk dan penghisap candu. Djojodikoro menulis, “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.“

Luapan emosional Umat Islam jelas tak terbendung. Sarekat Islam (SI) dibawah pimpinan HOS. Tjokroaminoto bereaksi cepat dengan membentuk Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM). Tujuannya jelas, yaitu untuk “menjaga dan melindungi kehormatan agama Islam, kehormatan Nabi Muhammad, dan kehormatan kaum Muslimin”.

TKNM ini kemudian mengadakan rapat-rapat akbar untuk menuntut sang penulis. Pada akhir Januari, Tjokroaminoto dan Hasan bin Semit (pemimpin Al lrsyad Surabaya) dan juga komisaris CSI (Centraal Sarekat Islam), mengadakan rapat akbar di Surabaya untuk membicarakan “masalah Djawi Hiswara.” Sementara itu, Abikoesno Tjokrosoejoso (adik Tjokroaminoto dan sekretaris SI Surabaya) melalui koran Oetoesan Hindia (surat kabar miliki SI Surabaya) menyeru agar umat Islam turut berjuang membela Nabi Muhammad dan menuntut Susuhunan Pakubuwono X (penguasa Surakarta) serta pemerintah Hindia-Belanda agar menghukum Martodharsono dan Djojodikoro.

Kemudian pada awal Februari, komite TKNM (Tentera Kandjeng Nabi Mohammad) didirikan di Surabaya untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim.” Tjokroaminoto menjabat posisi ketua, Sosrokardono sebagai sekretaris, dan Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib (salah satu pimimpin Al lrsyad Surabaya) sebagai bendahara.

Kunci TKNM terletak pada dua kata: tentara, yang menandakan militansi; dan Mohammad, lambang persatuan kaum putihan. Kini, tentara kaum putihan (sebutan bagi muslim Jawa yang relatif lebih religius) untuk pertama kalinya dalam politik pergerakan diarahkan kepada kaum abangan (kebalikan dari kaum putihan).

Meski isu ini pada akhirnya surut pasca terpilihnya Tjokroaminoto sebagai anggota Dewan Rakyat, seruan TKNM yang militan untuk membela Islam terbukti sangat berhasil. Isu yang bermula di Solo ini viral hingga nasional. Vergadering (pertemuan) di Surabaya pada 6 Februari berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden. Rapat akbar yang diadakan serentak pada 24 Februari di empat puluh dua tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatra dihadiri lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari sepuluh ribu gulden. Lebih lanjut, subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Yogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali di bawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM. Berbagai capaian TKNM sangatlah fantastis, mengingat peristiwa tersebut terjadi pada 1918 dengan pusat gerakan bukan di Batavia.

Lapis sejarah terus mengulang masanya. Sejak dulu hingga kini, sejarah telah membuktikan bahwa DNA pejuang Islam sejatinya telah mendarah daging dan tak dapat dipisahkan dari umat Islam, khususnya umat Islam di Indonesia.

Jika hari ini kita temukan tak sedikit pihak yang “merendahkan” derajat Nabi, atau bahkan tak sedikit pula yang mengaku muslim namun tak ingin mengikuti ajaran Nabi, maka di saat yang sama kita akan menemukan lebih banyak elemen umat Islam yang istiqomah membela pribadi dan risalahnya sebagai bentuk aktualisasi Cinta Nabi Cinta Syariat”.

Maka, sudahkah kita memastikan bahwa diri kita adalah salah satu bagian dari barisan pembela Islam?[]

Sumber:

Ahmad Suhelmi. 2014. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.

Takashi Shiraishi. 1997. Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta.

Taqiyuddin An-Nabhani. 2007. Mafahim Hizbut Tahrir (Edisi Mu’tamadah). Hizbut Tahrir Indonesia: Jakarta.  

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *