Strategi Politik Amerika Serikat Dalam Isu Terorisme di Indonesia
Mari kita lihat sikap Amerika Serikat, negara yang menjadi “polisi” atas isu terorisme dunia.
Dalam annual report tahun 2021, USCIRF (United States Commision On International Religious Freedom – Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional) menyatakan,
“Sepanjang 2021, kondisi kebebasan beragama di Indonesia umumnya stagnan. Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menegaskan strategi yang mendorong penafsiran Islam yang diharapkan melalui upaya resmi secara nasional seperti upaya memperkuat ideologi negara Pancasila, mencanangkan program kualifikasi sukarela untuk penceramah agama, dan menanamkan haluan “moderat” di lingkaran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Langkah-langkah ini pada dasarnya bertujuan untuk menangkal meningkatnya tren radikalisme atau Islam garis keras serta mendorong toleransi erat antar agama yang ada, tanpa anjuran kebebasan beragama yang lebih besar atau embel-embel pengakuan terhadap agama minoritas lainnya.”
Di akhir laporannya, USCIRF juga menyebut, bahwa sebagai kebijakan utama AS, program “Harmoni” yang didanai USAID (United States Agency for International Development – Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat) salah satunya dimanfaatkan untuk “melawan narasi ekstremis melalui masyarakat, perguruan tinggi, dan kampanye di sekolah-sekolah”.
Lantas, apa yang sebenarnya dilakukan oleh USAID di Indonesia?
Dalam dokumen USAID terkait Strategi Kerjasama Pembangunan AS-Indonesia (CDCS) yang dilakukan sepanjang 2 September 2020 – 30 September 2025, ada 4 bidang prioritas yang mendapat dukungan penuh dari Amerika. Salah satunya adalah “Memperkuat Tata Kelola Pemerintahan yang Demokratis dan Efektif”.
Untuk mencapai target prioritas tersebut, bantuan luar negeri Amerika Serikat disalurkan dalam Strategi Indo-Pasifik (IPS), yang beberapa programnya adalah “melindungi hak-hak asasi manusia, mengatasi kemunduran demokrasi, dan melawan ekstremisme kekerasan serta intoleransi.”
Hal ini, ternyata disambut baik oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai lembaga di tingkat nasional maupun subnasional, yang juga dituliskan dalam laporan USAID tersebut, bahwa “Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mempromosikan pluralisme dan melawan ekstremisme agama dan budaya”.
Lantas, bagaimana wujud komitmen pemerintah dalam mempromosikan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Amerika tersebut?
Di Kemenag misalnya, penunjukan Gus Yaqut memang bukan kebetulan. Amerika menyambut positif hal ini dan terang-terangan menyebut dalam laporan USCIRF, bahwa “Ada perkembangan positif dengan diangkatnya Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menag baru yang menyatakan niatnya untuk menghormati hak-hak Syi’ah maupun Ahmadiyah.”
Adapun di dalam MUI, kampanye terkait “Islam moderat” terus menerus digaungkan, sebagai lawan dari “ekstremisme” maupun “intoleransi beragama” yang saat ini, istilah-istilah tersebut digunakan sebagai pengganti penggunaan kata “radikalisme” yang sudah jarang digunakan karena dianggap gagal memberi citra buruk pada kalangan “Islam garis keras”.
Garis besar agenda ini cukup dijelaskan dalam video berdurasi 7 menit dari Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI. Dalam video yang di-take dan diedit berulang kali itu, alih-alih menggunakan kapasitasnya sebagai Wakil Presiden, sosok K.H. Ma’ruf Amin justru digunakan MUI sebagai “icon” perlawanan atas ekstremisme dan intoleransi beragama. Beliau menyampaikan,
“Bingkai teologis yang mengedepankan sikap moderasi beragama juga perlu terus dikembangkan sebagai upaya untuk menanggulangi munculnya intoleransi beragama, ketegangan umat beragama, pembinaan terhadap agama dan tokoh agama, kekerasan atas nama agama, dan berbagai isu yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang intoleran dan pemahaman yang radikal atau ekstrem, yang mengarah pada aksi kekerasan, bahkan aksi terorisme.”
Jadi, tak perlu heran. Jika beberapa tahun ke depan, agenda moderasi beragama berhaluan Barat yang menggunakan istilah-istilah seperti ekstremisme, intoleransi beragama, kekerasan, dan sejenisnya, terus digaungkan. Dan salah satu upayanya, adalah “penjinakan” dan “bersih-bersih” internal MUI dari ulama-ulama yang tidak bisa dikendalikan dan tidak sejalan dengan agenda moderasi beragama tersebut.
Hal ini ditunjukkan melalui sikap dan pernyataan cepat dari BPET MUI sendiri. Dalam konfrensi pers di Mabes Polri, Makmun Rasyid selaku pengurus BPET MUI, menyampaikan. Bahwa sebagai pencegahan tindakan serupa, proses rekrutmen anggota MUI memang akan diperketat.
“Salah satu yang akan kami lakukan sebagai bentuk penjagaan dan upaya pembersihan di internal adalah profiling itu sendiri. Ini sebagai bentuk introspeksi diri, bahwa dalam profiling perekrutan anggota di MUI sangat dibutuhkan ke depan”
Jadi, apa agenda pasca-pembekuan HT1 dan FP1? Jika pembubaran MUI adalah tindakan yang memang mustahil setidaknya untuk saat ini, maka upaya “bersih-bersih” dan penggalakan kampanye moderasi beragama itu memang lebih rasional.
Karena bagaimanapun, dalam laporan USCIRF sepanjang tahun 2016-2019, FP1 dan MUI ternyata senantiasa dikonotasikan negatif. Bahkan pada 2018, USCIRF tak segan-segan menyebut FP1 dan MUI dalam satu kalimat yang saling terhubung, yakni sebagai kelompok intoleran (intolerant groups).[]
______
Sumber:
Annual reports USCIRF bisa diunduh melalui website resminya: https://www.uscirf.gov/annual-reports
Dokumen Strategi Kerjasama Pembangunan AS – Indonesia (CDCS) diunduh di https://www.usaid.gov/id/indonesia/cdcs
Video “KH. Maruf Amin: Moderasi Beragama Sebagai Kunci Kita Dalam Bernegara” di channel youtube BPET MUI https://www.youtube.com/watch?v=KO4K8l-B0M8&t=98s
Pernyataan Makmun Rasyid dalam konferensi pers https://nasional.kompas.com/read/2021/11/17/17450601/ahmad-zain-an-najah-ditangkap-densus-88-mui-bakal-perketat-rekrutmen-anggota